Jakarta, 7/5 (Antara) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar konflik-konflik berbasis agama segera diselesaikan secara tuntas, guna memberikan rasa tenteram dan kedamaian kepada masyarakat.
Hal ini dikatakan Presiden saat membuka sidang kabinet terbatas bidang ekonomi dan keamanan di Kantornya, Jakarta, Selasa.
"Menyangkut konflik antar-umat beragama ini, saya sebetulnya berharap semua pihak utamanya jajaran pemerintah daerah di mana benturan atau kekerasan sosial itu terjadi, mengambil tanggung jawab penuh untuk mengatasinya, sampai tuntas. Tentu pemerintah pusat juga tidak bisa tinggal diam memberikan bantuan yang sama sampai tuntas," kata Presiden.
Ia menegaskan, penyelesaian masalah tersebut tidak boleh sepotong-sepotong, ataupun sekedar telah dilakukan pertemuan antar-kedua pihak yang bertikai. Namun dapat diselesaikan secara permanen.
"Sekali lagi, selesainya masalah itu, bukan karena sudah ada pertemuan, sudah ada pendekatan nah itu harus. Tapi selesai nggak masalah itu. Itu yang diharapkan oleh rakyat, dan itu juga yang harus dijalankan oleh jajaran kita," kata Presiden.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dalam konferensi pers seusai sidang kabinet terbatas mengatakan, sejauh ini mekanisme penyelesaian konflik berbasis agama terutama Ahmadiyah telah tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tahun 2008.
Untuk itu, pelaksanaan SKB tiga menteri tersebut perlu untuk didorong sebagai upaya dalam pencegahan konflik berbagai agama.
"Seperti juga kasus Ahmadiyah di Tasik dan lain-lain, saya kira dengan berpedoman pada SKB dapat dilakukan pencegahan. Ini tugas pemerintah tentu juga didukung seluruh komponen masyarakat terutama pemda (pemerintah daerah)," katanya.
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri, yakni Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung RI,
Dalam SKB tersebut diantaranya, warga masyarakat tidak boleh menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
SKB juga mengatur agar pemeluk Ahmadiyah, selama mengaku sebagai Islam, diminta menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan masyarakat diminta menjaga kerukunan dan ketenteraman, serta dilarang melakukan tindakan melawan hukum terhadap para penganut Ahmadiyah.
Bila tidak dipatuhi, baik masyarakat maupun pemeluk Ahmadiyah akan dikenakan sanksi seusai ketentuan undang-undang.
Selain itu, SKB juga memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.(M041)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013
Hal ini dikatakan Presiden saat membuka sidang kabinet terbatas bidang ekonomi dan keamanan di Kantornya, Jakarta, Selasa.
"Menyangkut konflik antar-umat beragama ini, saya sebetulnya berharap semua pihak utamanya jajaran pemerintah daerah di mana benturan atau kekerasan sosial itu terjadi, mengambil tanggung jawab penuh untuk mengatasinya, sampai tuntas. Tentu pemerintah pusat juga tidak bisa tinggal diam memberikan bantuan yang sama sampai tuntas," kata Presiden.
Ia menegaskan, penyelesaian masalah tersebut tidak boleh sepotong-sepotong, ataupun sekedar telah dilakukan pertemuan antar-kedua pihak yang bertikai. Namun dapat diselesaikan secara permanen.
"Sekali lagi, selesainya masalah itu, bukan karena sudah ada pertemuan, sudah ada pendekatan nah itu harus. Tapi selesai nggak masalah itu. Itu yang diharapkan oleh rakyat, dan itu juga yang harus dijalankan oleh jajaran kita," kata Presiden.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dalam konferensi pers seusai sidang kabinet terbatas mengatakan, sejauh ini mekanisme penyelesaian konflik berbasis agama terutama Ahmadiyah telah tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tahun 2008.
Untuk itu, pelaksanaan SKB tiga menteri tersebut perlu untuk didorong sebagai upaya dalam pencegahan konflik berbagai agama.
"Seperti juga kasus Ahmadiyah di Tasik dan lain-lain, saya kira dengan berpedoman pada SKB dapat dilakukan pencegahan. Ini tugas pemerintah tentu juga didukung seluruh komponen masyarakat terutama pemda (pemerintah daerah)," katanya.
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri, yakni Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung RI,
Dalam SKB tersebut diantaranya, warga masyarakat tidak boleh menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
SKB juga mengatur agar pemeluk Ahmadiyah, selama mengaku sebagai Islam, diminta menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan masyarakat diminta menjaga kerukunan dan ketenteraman, serta dilarang melakukan tindakan melawan hukum terhadap para penganut Ahmadiyah.
Bila tidak dipatuhi, baik masyarakat maupun pemeluk Ahmadiyah akan dikenakan sanksi seusai ketentuan undang-undang.
Selain itu, SKB juga memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.(M041)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013