Semarang (ANTARA) - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengimbau para peneliti dari berbagai lembaga dan instansi untuk melakukan risef dan penelitian secara efektif sehingga tidak membutuhkan anggaran dalam jumlah besar.

"Duit negara yang jumlahnya tak banyak malah diecer-ecer kesana-kemari dan akhirnya malah tidak jadi apa-apa," kata Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti Muhammad Dimyati di Semarang, Selasa.

Menurut dia, hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab riset di Indonesia tidak maju dan berkembang.

Ia mengaku tidak habis pikir dengan adanya dua lembaga melakukan penelitian terhadap sesuatu hal yang sama secara terpisah.

"Sekitar dua pekan lalu BPPT 'mempublish' hasil penelitian cangkang kapsul obat dari rumput laut, sedangkan beberapa pekan kemudian, Unair melakukan hal yang sama dan hasilnya sama-sama dimuat di media," ujarnya usai membuka konferensi internasional dalam pengembangan wilayah di Hotel Patra Jasa Semarang.

Faktor penghambat berkembangnya riset lainnya adalah keterbatasan anggaran dan banyaknya peneliti Indonesia yang hebat secara individu, namun lemah dalam kerja sama tim, padahal untuk membuat riset yang besar mesti dilakukan secara tim.

Faktor lainnya, lanjut dia, fasilitas laboratorium di Indonesia belum semaju di luar negeri, bahkan kekurangan alat dan teknologi saat akan meneliti hal-hal yang sifatnya mikro sehingga mesti menggandeng pihak luar.

"Kemudian, riset yang dilakukan peneliti Indonesia sering tidak melihat kebutuhan pasar atau industri sehingga akibatnya, hasil penelitian sering tak bisa diterima oleh industri karena tak ada 'link and match'," katanya didampingi Kabid Riset dan Pengembangan Bappeda Pemprov Jateng Tri Yuni Atmojo.

Menurut dia, hal itu terbalik dengan berbagai metode penelitian di luar negeri.

Guna mengatasi hal tersebut, Dimyati menyebutkan bahwa pemerintah kini menetapkan produk yang boleh diriset hanya 45 macam saja untuk lima tahun ke depan dan masing-masing produk akan dikawal oleh instansi yang diberikan penugasan.

"Melalui metode itu maka akan dapat diketahui mana penelitian yang berhasil dan mana yang tidak sehingga 'reward and punishment' bisa diterapkan untuk memacu penelitian kedepannya," ujarnya.

Produk-produk yang boleh diriset itu antara lain, pada bidang pangan seperti upaya memproduksi padi dari 6 ton menjadi 10 ton per hektare, pengolahan energi sawit menjadi bahan bakar dan pemanfaatan energi nuklir.

Baca juga: Anggaran riset Kemenristek Dikti naik hampir 100 persen
Baca juga: Kemenristekdikti perketat izin peneliti asing
Baca juga: Kemenristekdikti: pemotongan dana penelitian tidak dibenarkan

Pewarta: Wisnu Adhi Nugroho
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019