Tidak ada konflik yang tidak bisa diselesaikan, asalkan para pihak yang terkait bisa saling memahami persoalan mendasar yang sedang terjadi di daerah itu.
Jayapura (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Marinus Yaung berpendapat bahwa persoalan di Kabupaten Nduga perlu dilakukan komunikasi dan rekonsiliasi guna penyelesaian konflik yang berkepanjangan dengan harapan bisa segera pulih.

"Jadi rekomendasi saya, sumber penyelesaian konflik dan kekerasan senjata di Nduga diawali dari proses komunikasi dan rekonsiliasi komunitas diantara Bapak Bupati Nduga dan jajarannya dengan kelompok Egianus Kogoya serta masyarakat Nduga di distrik-distrik yang telah kehilangan balita dan anak-anak mereka tahun 2015 lalu," katanya di Kota Jayapura, Papua, Kamis (1/8).

Menurut dia, tidak ada konflik yang tidak bisa diselesaikan, asalkan para pihak yang terkait bisa saling memahami persoalan mendasar yang sedang terjadi di daerah itu.

"Tidak ada konflik yang tidak bisa diselesaikan. Tugas kita cari dan pilih solusi terbaiknya. Tuhan berkati kita semua di awal bulan yang baru Agustus 2019," katanya.

Menurut dia, pada pagi hari tadi setelah saat tenang, ia kembali membaca laporan penelitian tentang kasus kematian misterius 67 balita dan anak-anak di Kabupaten Nduga, Papua dari Agustus hinggga Desember 2015 akibat penyakit diare, demam dan pneumonia yang disebabkan oleh serangan kuman Pneumococcus dan Japanese Encephalitis.

Baca juga: Pejabat Nduga klaim jumlah pengungsi mencapai 45 ribu orang

"Dua jenis kuman itu sangat berisiko menyerang balita dan anak-anak, jika tidak ada asupan gizi yang cukup dan suntikan imunisasi yang baik. Hasil riset ini sudah di presentasi di Komas HAM RI bulan Maret 2016 yang dimediator oleh kawan saya Natalius Pigay, anggota komnas HAM RI waktu itu," katanya.

"Saya temukan bahwa disinilah akar utama konflik dan kekerasan di wilayah Nduga saat ini. Bukan kekerasan senjata diantara kelompok Egianus Kogoya dan TNI - Polri pasca penembakan 19 tenaga kerja PT. Istaka Karya pada awal Desember 2018 yang menjadi akar konfliknya," katanya.

"Kita perlu dudukan kasus per kasus dalam konflik Nduga, barulah kita bisa uraikan satu demi satu cara dan metode penyelesaiannya. Untuk kasus kekerasan senjata yang sudah berlangsung kurang lebih 9 bulan ini, solusinya selesaikan dan tuntaskan akar masalah yang masih belum selesai dalam peristiwa kematian balita dan anak-anak pada 2015 lalu," sambungnya.

Lebih lanjut, Marinus jelaskan bahwa ketika bertemu dengan keluarga-keluarga pada korban pada Desember 2015 di Distrik Mbua (waktu itu jalan belum mulus seperti sekarang,red), ada rasa kecewa dan sakit hati terhadap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nduga.

"Dimana banyak adik-adik dari Egianus Kogoya (pimpinan kelompok separatis Papua di Nduga saat ini, red) yang meninggal dengan penyakit saat itu karena kelalaian pelayanan kesehatan dari Pemkab Nduga," katanya.

Pada waktu itu, lanjut dia, tidak ada Puskesmas di seluruh distrik-distrik yang terdampak wabah penyakit. Mulai dari Distrik Mbua hingga ke Distrik Yigi dan Distrik Mpenduma.

"Yang ada hanya satu Pustu peninggalan misionaris. Lebih mengejutkan lagi 100 persen bayi dan balita di wilayah konflik Nduga saat ini, belum mendapat suntikan imunisasi saat saya riset lapangan," katanya.

Baca juga: Markus Haluk luncurkan dan bedah buku 'Konflik Nduga'

Hal itu, ungkap dia, masyarakat merasa bahwa peristiwa itu ada unsur kesengajaan dari Pemkab Kabupaten Nduga. Unsur kesengajaan seperti ini, karena berbuah politis.

"Sehingga saya tidak bisa tulis. Dari kasus krisis kesehatan inilah sampai sekarang Pemkab Kabupaten Nduga sulit berkomunikasi dengan masyarakat di distrik-distrik yang sedang berkonflik saat ini. Distrik-distrik yang menjadi basis dukungan perjuangan kelompok Egianus Kogoya," katanya.

Untuk itu, Marinus menegaskan bahwa solusi untuk penyelesaian konflik Nduga saat ini adalah Bupati Nduga Yairus Gwijangge harus minta maaf dulu ke masyarakat Nduga.

"Khususnya keluarga besar almarhum Elmin Silas Kogoya, ayah atau bapak dari Egianus Kogoya karena kelalaian pelayanan kesehatan yang mengakibatkan jumlah kematian bayi dan anak dari keluarga Kogoya yang cukup besar sekitar 32 jiwa yang tercatat dari Agustus hingga Desember 2015," katanya.

Jika Bupati dan Pemkab Nduga sulit berkomunikasi dengan kelompok Egianus Kogoya terbilang sangat berisiko kalau militer harus ditarik dari Nduga.

"Kalau Bupati dan Pemda Nduga sudah bisa cair dan harmonis dalam berkomunikasi dengan kelompok Egianus Kogoya, maka akan berdampak kepada makin menurunnya potensi ancaman keamanan. Kalau potensi ancaman keamanan sudah berkurang drastis, sudah pasti akan berdampak pada demiliterisme di wilayah Nduga. Militer akan kita kirim kembali ke barak," katanya.

Baca juga: Gubernur: segera data ulang pengungsi Nduga luruskan kesimpangsiuran

Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019