Jakarta (ANTARA) - Aktivis perempuan Azriana menilai diskriminasi kepada perempuan masih sering terjadi karena ketidakpahaman sebagian aparatur negara pada prinsip non-diskriminasi yang tercantum dalam konstitusi.

Padahal, selain dikuatkan oleh amandemen konstitusi yang menyarikan prinsip konvensi CEDAW pada 1984, UUD 1945 pun sudah memunculkan prinsip-prinsip non-demokrasi lewat frasa "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia", kata Azriana yang menjabat sebagai Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan pada Perempuan (Komnas Perempuan) .

"Kalau kemudian dalam pelaksanaannya tidak se-ideal itu, kembali kepada penyelenggara negara yang belum menjalankan sepenuhnya prinsip non-diskriminasi ini atau mungkin belum dipahami. Kapasitas aparatur penyelenggara negara dalam memahami prinsip non-diskriminasi mungkin perlu dikuatkan," kata Azriana saat ditemui di Jakarta, Selasa.

Sementara pasca-amandemen yang mengintegrasikan prinsip-prinsip CEDAW, ada pendekatan Hak Asasi Manusia dalam setiap produk kebijakan.

"Setiap pasal diawali dengan kata-kata "setiap orang", "setiap penduduk", "setiap warga negara". Jadi memastikan setiap orang terlindungi," ucap dia.

Azriana juga menyebut adanya prinsip kesetaraan substansif pada konvensi CEDAW di mana kesetaraan yang bukan berarti sama bagi semua pihak tetapi disesuaikan dengan pengalaman yang berbeda bagi tiap pihak dalam mengakses haknya.

"Konstruksi sosial dalam masyarakat kita misalnya kerap membuat perempuan lebih terbatas kesempatannya dibanding laki-laki. Pemerintah harusnya memberi afirmasi kepada perempuan dengan kemudahan untuk bisa mencapai kesetaraan," ucap dia.

Azriana tak memungkiri dalam beberapa hal seperti politik kesetaraan itu sudah dicapai. Misalnya dengan adanya kuota perempuan bagi partai politik yang hendak ikut kontestasi elektoral. Namun lebih jauh lagi hal ini hendaknya bisa diturunkan ke seluruh aspek kehidupan.

Dia pun mencontohkan diperbolehkannya mencantumkan kepercayaan lokal dalam Kartu Tanda Penduduk yang seharusnya tidak hanya memperbolehkan tetapi lebih jauh lagi memfasilitasi.

"Mereka kan harus ganti KTP baru, karena selama ini harus memilih satu dari enam agama, di sini negara harus afirmatif. Misalnya, kebanyakan penghayat ini kan tinggal di tempat terpencil, negara harus hadir ke sana, enggak bisa disamakan dengan masyarakat lain yang menganut satu dari lima atau enam agama ini yang mengakses perubahan KTP enggak sulit," ucap dia.

Baca juga: Komnas perempuan catat 282 aturan diskriminasi perempuan

Baca juga: "Hari Perempuan Internasional" momentum capai kesetaraan gender

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019