MK dalam menyidang pileg dan pilpres pragmatis saja, tidak terlalu banyak subjektivitas yang digunakan, tetapi langsung merujuk kepada wewenang. Jadi kalau bukan wewenang MK, mereka akan patahkan dari awal
Jakarta (ANTARA) - Sudah sepekan foto rekayasa di luar batas kewajaran yang dituduhkan kepada salah satu calon anggota DPD RI daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) jadi perbincangan karena jadi sengketa di Mahkamah Konstitusi.

Gugatan perkara itu berbeda dengan sengketa-sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) lainnya yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Pemohon, calon anggota DPD RI petahana yang namanya sudah dikenal luas, Farouk Muhammad, tidak mendalilkan perolehan suaranya hilang, melainkan terdapat penggelembungan suara untuk empat calon dengan perolehan suara terbanyak.

Namun, perolehan suara caleg lain menurut Farouk dalam permohonan pun tidak mengubah konstelasi calon yang akan menjadi wakil rakyat dari daerah itu. Empat caleg lain itu tetap berada di urutan empat teratas.

Untuk memuluskan ambisinya kembali mendapatkan kursi DPD, dalam petitum, Farouk justru meminta Mahkamah membatalkan keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap (DPT), khususnya nama caleg nomor urut 26 Evi Apita Maya serta caleg nomor urut 35 Lalu Suhaimi Ismy dalam daftar.

Foto pendaftaran saat akan menjadi calon legislator yang jadi soal.

Kuasa hukum Farouk Muhammad, Happy Hayati Helmi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan sengketa hasil pemilu legislatif pekan lalu mendalilkan penggunaan foto rekayasa yang mengubah identitas diri termasuk pelanggaran administrasi.

Evi Apita Maya juga disebut mengelabui pemilih karena secara sengaja memajang foto diri dengan logo DPD RI pada spanduk yang digunakan sebagai alat peraga kampanye, padahal belum pernah menjabat sebagai anggota DPD sebelumnya.

Atas perbuatan itu, Evi Apita Maya didalilkan menjual lambang negara untuk menarik simpati rakyat NTB sehingga memperolah suara terbanyak.

Sementara pelanggaran administrasi yang dilakukan Lalu Suhaimi Ismy dalam permohonan adalah menggunakan foto lebih dari enam bulan saat mendaftar sebagai caleg.

Pelanggaran administrasi itu dinilai tidak terdeteksi lantaran KPU NTB tidak terlebih dulu melakukan verifikasi terhadap semua dokumentasi persyaratan setiap calon anggota DPD seperti diatur dalam Pasal 65 ayat (1) huruf j PKPU Nomor 30 Tahun 2018.

Jawaban KPU dan keterangan Bawaslu

Terkait permohonan itu, dalam sidang beragendakan mendengar jawaban termohon, keterangan Bawaslu dan pihak terkait pada Kamis (18/7), KPU membantah semua dalil Farouk.

KPU menyebut gugatan itu sepihak karena perkara itu sebelumnya tidak pernah dilaporkan ke Bawaslu.

"Alasan pemohon pelanggaran administrasi berupa penggunaan foto editan calon DPD Evi Apita Maya dan Lalu Suhaimi. Dugaan pelanggaran administrasi ini sepihak karena tidak ada laporan kepada lembaga berwenang, yaitu Bawaslu, sehingga permohonan prematur, bahkan tidak berdasar hukum," tutur kuasa hukum KPU Rio Rahmad Effendi.

Kronologi pendaftaran calon anggota DPD RI menurut KPU adalah pada 11 Juli 2018 KPU NTB menerima dokumen pendaftaran berupa dokumen syarat, termasuk foto ukuran 4x6 cm.

Terhadap dokumen yang diserahkan, KPU NTB melakukan verifikasi kelengkapan dan keabsahan hingga ditetapkan dalam daftar calon sementara (DCS).

Pengumuman dilakukan pada Agustus 2018 untuk mendapatkan masukan dan tanggapan calon perseorangan anggota DPD, hasilnya tidak ada masukan dan tanggapan yang masuk ke KPU NTB, apalagi soal foto nomor urut 26.

KPU pun selanjutnya melakukan penetapan daftar calon tetap (DPT) anggota DPD RI pada 13 September 2018.

Setali tiga uang, Bawaslu menyatakan hingga DCS ditetapkan, tidak terdapat keberatan terhadap foto Evi Apita Maya serta Lalu Suhaimi.

Ketua Bawaslu NTB Khuwailid mengatakan tidak hanya Bawaslu NTB, Bawaslu RI pun tidak menerima keberatan atas penggunaan foto yang disebut terlihat lebih cantik dan menarik itu.

Bahkan hingga daftar calon tetap (DPT) ditetapkan oleh KPU RI, tidak ada keberatan yang diajukan.

Keberatan atas foto tersebut baru muncul saat rapat pleno rekapitulasi tingkat provinsi yang disampaikan secara formal oleh saksi dari Farouk Muhammad.

"Waktu itu menjawab keberatan disampaikan saksi caleg DPD Farouk Muhammad, Bawaslu mengatakan tidak menerima laporan terkait penggunaan foto editan," ucap Khuwailid.

Semua foto caleg direkayasa

Evi Apita Maya yang namanya jadi santer diberitakan karena perkara itu menyebut semua caleg, khususnya untuk DPD dari NTB, menggunakan foto yang direkayasa untuk kertas suara karena ingin menampilkan sisi terbaiknya.

"Semua diedit, ada yang justru pakai kerudung dibuka, pake baju sasak. Itu kan demi memberikan tampilan yang bagus. Termasuk beliau sendiri juga diedit kok, jangan bohonglah," ujar Evi.

Ia sebenarnya tidak ingin menjelek-jelekan rekan caleg dapil NTB lainnya, tetapi ia yakin setiap calon pemimpin yang ingin menampilkan identitasnya di depan umum untuk dikenal pasti menampilkan foto terbaik.

"Ya termasuk saya yang tampil ingin ikut kontestasi, wajar dong saya. Masa saya foto bangun tidur. Wajar. Perlulah saya dandan sedikit," tutur Evi lembut.

Ibu tiga anak itu pun tidak menafikkan apabila masyarakat memilihnya sebab tertarik dengan foto dalam kertas suara dan alat peraga.

Namun, ia yakin tidak sekadar foto cantik yang membuatnya mendulang suara terbanyak di NTB. Ia mengaku sudah malang melintang di dunia perpolitikan. Ia pernah nyaleg dan pernah bergabung dengan PAN dan Partai Hanura.

"Pantas tidak, wajar tidak, kalau saya mendapatkan suara simpatik setidaknya dari roda partai yang dulu kami bentuk? Teman-teman yang dulu kami bentuk sampai tingkat ranting, mereka kan kenal sama saya, juga masyarakat," ucap Evi.

Sidang pengucapan putusan atau ketetapan untuk perkara sengketa hasil Pileg 2019 akan dilakukan Mahkamah Konstitusi pada Senin (22/7) mulai pukul 09.00 WIB.

Pendiri lembaga survei Kedai Kopi Hendri Satrio ragu perkara tersebut akan berlanjut ke tahap selanjutnya. Ia menilai perkara foto semestinya dari awal dilaporkan ke Bawaslu.

Sementara hasil perolehan suara sudah ditetapkan pada 21 Mei 2019.

"MK dalam menyidang pileg dan pilpres pragmatis saja, tidak terlalu banyak subjektivitas yang digunakan, tetapi langsung merujuk kepada wewenang. Jadi kalau bukan wewenang MK, mereka akan patahkan dari awal," ujar Hendri, menegaskan.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019