Jakarta (ANTARA) - "Ajak aku pergi menuju ke Wimbledon..."

Kalimat di atas merupakan penggalan lirik lagu dengan judul yang sama milik grup idola JKT48. Lagu tersebut merupakan alih bahasa langsung dari lagu milik sister group mereka asal Jepang AKB48, yang menceritakan cinta monyet seorang gadis terhadap murid sekolah lain yang menggemari olahraga tenis.

Terlepas dari kejeniusan sang penggubah lagu dalam menangkap kisah cinta monyet dan menghubungkannya dengan salah satu ajang Grand Slam tenis, Wimbledon sendiri memang kerap menjadi impian bagi para petenis profesional.

Indonesia sempat memiliki wakil di sana. Jika sebelumnya kita boleh berbangga dengan tampilnya Angelique Widjaja dan Yayuk Basuki di Wimbledon, petenis Indonesia teranyar yang mencicipi rumput lapangan Inggris tersebut adalah adalah Christoper Rungkat di kategori tunggal putra dan ganda campuran senior, serta Priska Nugroho di level junior pada pertengahan Juli silam.

Dengan minimnya fasilitas tenis di Tanah Air, tentu merupakan suatu kebanggaan tersendiri saat menyaksikan para petenis Merah-Putih dapat berlaga di kompetisi-kompetisi papan atas.

Berprestasi tapi kerap terabaikan

Tenis memang kerap menyumbang prestasi, namun juga masih sering terabaikan. Bukti terkini, tidak ada stadion di ibukota yang representatif untuk menyelenggarakan turnamen papan atas.

Bahkan saat pasangan ganda campuran Christopher Rungkat/Aldila Sutjiadi merebut medali emas pada Asian Games 2018, medan laga bagi kedua atlet tersebut adalah lapangan tenis Jakabaring Sport Centre, Palembang, Sumatera Selatan.

Contoh terkini dari terabaikannya fasilitas tenis dapat disaksikan di Kompleks Gelora Bung Karno (GBK) Senayan. Menjelang Asian Games 2018, sebanyak 12 lapangan tanah liat (clay) dan enam lapangan permukaan keras (hardcourt) digusur untuk dijadikan Stadion Bisbol.

Baca juga: Christo, Jakarta dan hilangnya kompleks tenis bersejarah

Pengurus Pusat Pelti (Persatuan Lawn Tennis Indonesia) sempat mengajukan keberatannya terhadap penggusuran itu, namun apa daya, perlawanan mereka gagal membuahkan hasil positif.

Penggusuran tersebut membuat Kompleks GBK kini hanya memiliki empat lapangan di center court dan tennis indoor. Center court sendiri dipertahankan karena merupakan bangunan cagar budaya (BCB).

Dampak selanjutnya adalah pertandingan tenis level internasional mustahil diselenggarakan di sana. Sebab menurut Yayuk Basuki dalam salah satu wawancara pada 2016 silam, untuk menyelenggarakan pertandingan standar International Tennis Federation (ITF) dibutuhkan minimal delapan sampai 14 lapangan. Baik untuk turnamen seperti Piala Davis, maupun turnamen dengan level di bawahnya seperti ITF Pro Circuit dan Women Challenger.

Baca juga: https://www.antaranews.com/berita/947795/minimnya-lapangan-tenis-hambat-kejuaraan-internasional-di-indonesia

Nasib tragis lapangan tenis Senayan telah terlebih dahulu dirasakan dua tempat lainnya, Kemayoran dan Rawamangun.

Kompleks tenis Kemayoran yang sempat menjadi ajang turnamen internasional Thamrin Cup, harus rela berubah wujud menjadi wisma Atlet untuk Asian Games 2018.

Di Rawamangun, insan tenis harus makan hati melihat salah satu tempat legendaris itu disulap untuk menjadi sarana pendukung velodrome, juga terkait dengan pesta olahraga Asia empat tahunan di atas.

Beban akan menjadi sangat berat jika semua harus dipikul oleh organisasi PELTI untuk menyediakan lapangan dan stadion bertaraf internasional.

Daerah-daerah di luar Jakarta mungkin bisa menyediakan lapangan dan bahkan stadion tenis memadai, namun penyelenggaraan turnamen akan sangat bergantung kepada sponsor.

Hal ini sempat dikeluhkan Wakil Ketua PP Pelti Sutikno Muliadi, yang menuturkan bahwa sponsor akan sangat melirik Jakarta karena statusnya sebagai tempat promosi yang paling ideal.

Pelti pun sempat berupaya untuk menggandeng pihak swasta, namun pihak swasta tentu akan menomor satukan keuntungan untuk secepatnya balik modal, sehingga upaya mereka masih belum berujung pada hasil maksimal.

Perbandingan

Dari empat ajang Grand Slam, dua turnamen dimainkan di ibukota negara-negara tuan rumah tersebut.

Ajang tradisional yang terkenal dengan kewajiban mengenakan pakaian serba putih, Wimbledon, dimainkan di lapangan-lapangan rumput di Wimbledon, London, Inggris.

Sementara itu French Open atau juga dikenal dengan nama Roland Garros dimainkan di lapangan tanah liat di Stade Roland Garros, Paris.

Dua Grand Slam sisanya, yakni US Open dan Australia Open memang tidak dimainkan di ibukota negara bersangkutan. Turnamen lapangan permukaan keras US Open diselenggarakan di New York, AS, sedangkan Australia Open dimainkan di Melbourne.

Untuk level-level di bawahnya, baik untuk putra (ATP) maupun putri (WTA), turnamen-turnamen memang tidak selalu diselenggarakan di ibukota.

Sebagai contoh, ATP mengenal ajang Tour Master 1000 yang dimainkan di Indian Wells, Ohio, dan Shanghai, meski ajang ini juga dimainkan di Paris, Roma, dan Madrid. Sedangkan WTA memiliki turnamen-turnamen strata kedua yang dimainkan di antara lain, Doha, Dubai, Tokyo, Beijing, dan Moskow.

Secercah harapan
Petenis putri Indonesia Aldila Sutjiadi saat diwawancarai pewarta setelah bertanding di ajang Jakarta 25K yang berlangsung di Elite Club Epicentrum, Jakarta Selatan, Juni. (A Rauf Andar Adipati)


Kondisi tenis saat ini memang sedang sulit, namun masih ada secercah harapan.

Pada Juni silam, Jakarta mendapat tanggung jawab untuk menjadi tuan rumah dua turnamen tenis putri di level hadiah 25.000 dan 10.000 dolar AS.

Kondisinya serba terbatas, pertandingan-pertandingan hanya dimainkan di dua lapangan hardcourt di Elite Club Epicentrum yang hanya memiliki satu tribun penonton.

Namun toh ajang yang berjalan lancar tersebut mudah-mudahan dapat mengingatkan kepada para petinggi negeri, bahwa tenis Indonesia masih dilirik mata internasional. Bahwa Yayuk Basuki-Yayuk Basuki baru masih mungkin dicetak di ibukota, seandainya lapangan-lapangan tenis yang telah hilang dapat digantikan keberadaannya.

Mudah-mudahan...

Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019