Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami empat hal terkait pemeriksaan mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Rizal Ramli sebagai saksi dalam penyidikan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

KPK pada Jumat memeriksa Rizal sebagai saksi untuk tersangka pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim (SJN).

"Hari ini, penyidik memeriksa satu orang saksi atas nama Rizal Ramli untuk tersangka SJN. KPK mendalami beberapa hal dari saksi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Jumat.

Pertama, kata Febri, penyidik KPK mendalami tugas dan tanggung jawab saksi Rizal selaku Menko sekaligus sebagai Ketua Ex-Officio Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Tahun 2000 sampai Juli 2001.

Pada saat itu Sekretaris KKSK adalah Syafruddin Arsyad Temenggung.

Kedua, lanjut Febri, KPK mendalami mekanisme pengambilan keputusan oleh KKSK terkait dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

"Ketiga, terkait SK KKSK Nomor: KEP.02/K.KKSK/03/2001 dan mekanisme penerbitannya serta langkah-langkah yang diambil saksi Rizal sebagai Menko sekaligus Ketua Ex-Officio KKSK terkait obligor BLBI," ujar Febri.

Selanjutnya, keempat, KPK juga mendalami rapat yang dilakukan di rumah saksi Rizal yang saat itu dihadiri oleh Sjamsul Nursalim, BPPN, dan pihak terkait lainnya.
Baca juga: Pengamat: Putusan kasasi MA kasus BLBI berimbas ketidakpastian hukum

Febri menjelaskan dalam fakta persidangan dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung saat itu telah muncul beberapa hal terkait dengan keterangan saksi Rizal, yaitu saksi mewajibkan seluruh penerima BLBI untuk menyerahkan "personal guarantee" untuk memperkuat posisi tawar Pemerintah Indonesia saat itu.

"Saksi menyetujui usulan BBPN untuk melakukan restrukturisasi utang petambak saat itu, yaitu utang petambak menjadi Rp1,3 triliun dan menjadi kewajiban BDNI (Bank Dagang Nasional Indonesia) Rp3,5 triliun," kata Febri.

Hal tersebut, menurut saksi Rizal, juga sudah disampaikan pada Sjamsul Nursalim, namun yang bersangkutan tidak responsif dan hanya mau menyerahkan Rp455 miliar.

"BPPN saat itu tetap berupaya melakukan penagihan karena dinilai Sjamsul Nursalim masih memiliki kewajiban. Saat itu, ada rapat yang dilakukan di rumah saksi yang dihadiri oleh Sjamsul Nursalim, BPPN dan pihak lainnya. Namun tidak terdapat kesepakatan atau konklusi," ujar Febri,

Karena itu, kata dia, dari keterangan saksi Rizal di persidangan tersebut terlihat bahwa sebenarnya masih ada kewajiban Sjamsul Nursalim yang belum selesai, namun pada proses lanjutan tetap dipaksakan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL).

"Bahkan ketika aset yang diklaim bernilai Rp4,8 triliun tersebut dijual hanya laku Rp220 miliar, sehingga diduga kerugian negara adalah Rp4,58 triliun," ujar Febri.

Febri juga menyatakan bahwa dalam beberapa waktu ke depan, KPK tetap akan meneruskan penyidikan kasus BLBI dan telah mengagendakan pemeriksaan saksi-saksi yang diperlukan.

"Selain itu, penelusuran aset untuk kepentingan "asset recovery" nantinya juga menjadi perhatian KPK," kata Febri.

Usai diperiksa, Rizal mengaku dikonfirmasi soal misrepresentasi aset terkait kasus korupsi BLBI dengan tersangka Sjamsul.

"Pada dasarnya menyangkut misrepresentasi dari aset-aset yang disahkan. Jadi, seperti diketahui pada saat krisis, krisis itu dipicu karena swasta-swasta Indonesia pada waktu itu utangnya banyak sekali," kata Rizal, usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019