Anak muda enggak mau lagi di industri kok dipaksa, anak muda di jasa 'startup' (usaha rintisan). Kita bikin mudah
Jakarta (ANTARA) - Ekonom dari Universitas Indonesia Faisal Basri mempertanyakan kebijakan pemerintah tentang "super deductable tax" atau insentif pengurangan pajak penghasilan bruto di atas 100 persen karena dianggap tidak mendiagnosa permasalahan yang menimpa para pelaku usaha perihal investasi.

"Bahwa ini ('super deductable tax', red.) untuk memacu investasi. Apa yang salah dengan investasi, investasi kita tergolong tertinggi," ujarnya dalam diskusi di Hotel Millenial Jakarta, Rabu.

Ia memandang kebijakan insentif pajak itu didasari atas investasi yang melemah.

Padahal, kata dia, investasi per-PDB Indonesia tertinggi di ASEAN, yakni 32,3 persen. Kredit perbankan juga menunjukkan posisi yang baik di kisaran 11 persen.

"Investasi asing 2018 itu kita nomor 16 di dunia, naik dari tahun 2017 urutan ke-18. Enggak ada yang salah dengan investasi," katanya.

Ia mengaku tidak anti dengan vokasi yang menjadi prioritas dalam kebijakan "super deductable tax", namun hal yang perlu dibenahi untuk menggairahkan perindustrian yakni perbaikan regulasi dan institusi.

Menurut dia, justru yang perlu didorong pemerintah di sektor jasa. Masyarakat, khususnya kaum milenial, saat ini justru lebih memilih pekerjaan sektor jasa ketimbang industri.

"Anak muda enggak mau lagi di industri kok dipaksa, anak muda di jasa 'startup' (usaha rintisan). Kita bikin mudah. Jumlah pekerja Indonesia di industri sudah tinggal 45 persen. Mereka berbondong-bondong ke jasa," kata dia.

Oleh sebab itu, dia berharap, pemerintah, terutama para menteri, dapat membuat kajian atau diagnosa yang tepat terkait dengan persoalan dalam perekonomian, sebelum mengeluarkan suatu kebijakan.

"Bikinlah dunia usaha nyaman untuk terbaik bagi dia. Pemerintah sekarang mendikte model bisnis. Misalnya saya bikin industri hulu dapat insentif pajak. Tapi itu akan hilang kalau tiba-tiba bebas impor untuk produk hulu," kata dia.

Baca juga: Ekonom usul Kemendag dan Kemenperin digabung
Baca juga: Pengamat: diskriminasi sawit jadi pelajaran soal ekspor komoditas

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019