Banjarmasin (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) berharap media massa baik cetak, daring maupun televisi  lebih ramah anak dalam pemberitaan dengan menghindari narasi pemberitaan anak secara vulgar.

Hal tersebut disampaikan Staf Ahli Menteri Hubungan Antar Lembaga Kementerian PPPA Rini Handayani pada sosialisasi pedoman pemberitaan ramah anak dengan tema "Peningkatan Kualitas Pemberitaan Media Ramah Anak" di Banjarmasin, Kamis.

Baca juga: KPPPA ajak insan pers hasilkan karya jurnalistik yang ramah anak

Baca juga: Jurnalis dan media diminta ikut lindungi hak anak


Pada acara yang diselenggarakan Kementerian PPPA bekerja sama dengan Dewan Pers dan seluruh media di Kalsel tersebut, Rini mengatakan peran media sangat penting dalam mendukung suatu kabupaten maupun provinsi menjadi daerah layak anak.

Media, tambah dia, menjadi mitra penting dalam memenuhi hak dan perlindungan anak, sehingga media harus lebih berempati terhadap pemberitaan anak-anak, baik anak sebagai korban maupun tersangka.

Rini berharap media harus mampu memperkuat rasa empati dalam pemberitaan kasus-kasus anak dengan menghindari ekspos kasus anak dengan narasi yang vulgar, kosakata yang brutal, serta menjaga kerahasiaan anak demi martabatnya.

Selain itu, media juga bisa memperbanyak berita tentang anak-anak yang punya prestasi, dipeluk kebahagiaan, dan membangun impian untuk berbuat kebaikan bagi semesta alam.

"Jika rasa empati publik terhadap anak diterapkan secara konsisten, media akan bisa menggiring kehirauan masyarakat akan aspek preventif terjadinya tindakan-tindakan pelanggaran hak anak," katanya.

Baca juga: Kementerian PPPA dan KPI sepakat bangun media sensitif gender dan ramah anak

Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Profesi Pers Dewan Pers Jamalul Insan mengatakan, hingga kini masih ada jurnalis yang belum pas memberitakan tentang anak, seperti menuliskan dengan lengkap identitas anak, menampilkan wajah anak dan lainnya.

"Kesalahan tersebut, masih sering terjadi, padahal itu tidak boleh dan wartawan atau media bisa dituntut secara hukum," katanya.

Jamal mengingatkan pers harus mampu melindungi diri dengan bekerja secara profesional sesuai ketentuan.

"Dewan Pers selalu berusaha mengingatkan jurnalis untuk bekerja secara profesional, agar bisa terlindungi dari tuntutan hukum dan lainnya, akibat kelalaian dalam memberitakan masalah anak," katanya.

Berdasarkan kajian Dewan Pers, IJTI, AJi dan lainnya, tambah dia, banyak menemukan media yang secara etik melanggar, baik di cetak, televisi maupun daring.

Baca juga: Koalisi Perempuan Indonesia dorong pendekatan kultural cegah perkawinan anak

Melalui kegiatan sosialisasi ini, diharapkan menambah literasi, untuk menjadi pedoman agar wartawan mampu menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas.

Beberapa pedoman pemberitaan ramah anak sesuai Peraturan Dewan Pers No.1/Peraturan-DP/II/2019 Tanggal 9 Februari 2019 antara lain, wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang tersangka atau korban anak.

Selain itu, wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.

Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak dan beberapa ketentuan lainnya.

Acara ini diikuti oleh hampir seluruh perwakilan media baik cetak, televisi maupun daring di Kalimantan Selatan.

Baca juga: Dewan Pers ajak media pikirkan dampak berita sebelum disebarkan



 

Pewarta: Ulul Maskuriah
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019