Jakarta (ANTARA) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjelaskan tentang perbedaan antara proses pembuatan hujan buatan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta polusi udara.

Sebelumnya pada Kamis (4/7), Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan bahwa pihaknya baru pertama kali menggunakan kegiatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk mengatasi masalah pencemaran udara yang akan dilakukannya untuk Kota Jakarta dalam beberapa waktu yang akan datang.

Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kepala BBTMC Tri Handoko Seto. Ia mengatakan bahwa sebenarnya metode TMC melalui hujan buatan biasa digunakan untuk mengatasi masalah-masalah saat kemarau, seperti kebakaran lahan dan hutan (karhutla) serta pengisian air ke waduk warga yang bekerja sama dengan PLTA.

“Ada sedikit persamaan dan perbedaan dalam penerapan hujan buatan untuk karhutla dan polusi udara,” katanya saat dihubungi oleh ANTARA di Jakarta, Senin.

Baca juga: TNI AU kirim pesawat Casa untuk hujan buatan di Riau

Baca juga: Untuk hujan buatan di Riau, BPPT siapkan 17 ton garam

Baca juga: Tanggapi Gubernur DKI, BPPT klarifikasi kesiapan TMC


Tri mengatakan dalam mengatasi kasus kebakaran hutan atau pengisian air ke waduk warga, hujan buatan dimulai dari pemberian rangsangan terhadap awan dengan mengukur dan menghitungnya terlebih dahulu agar diketahui bahan yang cocok untuk merangsangnya, seperti garam NaCL.

Setelah itu, dilakukan proses penyemaian terhadap awan menggunakan bahan kimia berukuran 30 micron yang diantar dengan pesawat khusus, yaitu Casa NC212/200. Hal tersebut berguna sebagai pengumpul uap air di awan yang akhirnya membesar sekitar 1 milli dan jatuh menjadi hujan.

“Penyemaian itu dilakukan sehingga awan akan segera lebih aktif dan menurunkan hujan,” katanya.

Di sisi lain, ia mengatakan bahwa ada proses tambahan dalam pembentukan hujan buatan yang digunakan untuk mengatasi polusi udara yaitu adanya proses pembongkaran lapisan inversi dengan bahan-bahan tertentu, seperti dryice.

“Polusi udara itu kalau musim kemarau, dia terjebak oleh lapisan atmosfer yang stabil akibat adanya inversi. Inversi itu temperatur atas dan bawahnya sama dan itu yang menyebabkan polutan terjebak,” jelas Tri.

“TMC itu bisa membongkar lapisan inversi sehingga polutan bisa naik ke atas karena lapisan tersebut menjadi tidak stabil, maka yang di level bawah bisa berkurang kerekatannya,” ujarnya.

Tri melanjutkan, hujan buatan yang digunakan untuk mengatasi kekeringan dan kebakaran akan langsung ditampung melalui kanal yang nantinya bermuara ke waduk warga.

Sedangkan untuk polusi udara, hujan buatan tersebut hanya berfungsi untuk menyapu polutan sehingga udara menjadi bersih.

“Sebenarnya hujan buatan awalnya kita lakukan riset untuk mengisi waduk irigasi pertanian,” ujarnya.

Meskipun baru pertama kali TMC digunakan untuk mengatasi masalah polusi udara, namun Tri optimis cara tersebut akan berhasil karena beberapa negara telah berhasil melakukan proses tersebut, seperti di Thailand, India, Cina, dan Korea Selatan.

“Kita tetap butuh bantuan dari pihak lain seperti pemerintah dan masyarakat. Langkah jangka panjang tentu sangat dibutuhkan, langkah jangka pendek jika polusi sudah terlalu pekat juga dibutuhkan. Saya kira semua harus bisa saling bersinergi,” katanya.

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019