Jakarta (ANTARA) - Musim kemarau yang lebih kering pada tahun 2019 dibandingkan tahun sebelumnya membuat pemerintah harus meningkatkan kewaspadaan terhadap daerah yang berpotensi mengalami kekeringan hingga kebakaran lahan.

Dari pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), puncak musim kemarau diprakirakan terjadi Juli--Agustus 2019. Musim kemarau ini dapat menjadi ancaman bagi tanaman padi akibat kekeringan sawah.

Sejumlah daerah yang mengalami kekeringan dan terancam puso atau gagal panen antara lain Ciamis seluas 1.040 hektare, Cianjur seluas 1.007 hektare dan Jawa Timur 24.633 hektare. Sementara itu, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah mengalami puso seluas 1.992 hektare.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencatat tanaman padi puso tersebut paling dominan terdapat di Kabupaten Gunung Kidul dengan luasan mencapai 1.918 hektare, sedangkan 74 hektare sisanya tersebar di Kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan Sleman.

"Padi puso seluas 1.992 hektare yaitu padi tadah hujan," kata Kepala Pelaksana BPBD DIY Biwara Yuswantana.

Untuk mengantisipasi turunnya produksi akibat kekeringan dan puso, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian sudah mengalokasikan sejumlah pompa yang ditempatkan di dinas pertanian tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

"Kami sudah menginstruksikan untuk seluruh kepala dinas kabupaten yang mengalami kekeringan, dapat memanfaatkan pompa tersebut untuk membantu petani," kata Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Sarwo Edhy.

Sarwo Edhy menjelaskan bahwa Senin (8/7), Kementan mengadakan rapat koordinasi dengan seluruh kepala dinas tingkat kabupaten/kota untuk membahas kekeringan di sejumlah wilayah, serta antisipasinya.

Salah satu penyebab kekeringan di lahan-lahan pertanian, adalah sistem pengairan air yang terhambat. Kementan sendiri telah berupaya membenahi tata kelola air dengan memfasilitasi pembangunan infrastruktur air untuk lahan pertanian.

Sejauh ini, Kementan telah meningkatkan irigasi perpompaan selama 3 tahun terakhir (2016-2019). Total irigasi perpompaan sebanyak 2.358 unit dengan estimasi luas layanan per unit seluas 20 hektare (ha). Maka, luas areal yang dapat diairi saat musim kemarau seluas 47.160 ha.

Irigasi perpompaan juga mendukung komoditas hortikultura dan perkebunan mencapai 4.290 ha luas lahan yang dapat diairi saat musim kemarau. Sementara itu untuk komoditas peternakan, irigasi dapat melayani 3.220 ekor ternak yang terjamin ketersediaan air minum dan sanitasi kandang.Dalam kegiatan irigasi, Kementan juga membangun embung sebanyak 2.692 unit yang mampu memberikan dampak pertanaman seluas 73.850 ha.

Sarwo Edhy menambahkan sebelum memasuki musim kemarau, Kementan telah menurunkan Tim Penanganan Kekeringan.Tim khusus untuk penanganan kekeringan ditempatkan di wilayah sentra produksi padi, dengan berkoordinasi dan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat maupun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Tim ini diharapkan melakukan identifikasi ke wilayah yang terdampak kekeringan. Apabila masih terdapat sumber air (air dangkal), tim ini mendorong Dinas Pertanian setempat untuk mengajukan bantuan pompa air kepada instansi terkait.

Asuransi tani

Untuk meminimalisasi kerugian petani, Kementan sejak awal tahun telah gencar menyosialisasikan program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) sebagai upaya agar petani mendapatkan ganti rugi jika terjadi gagal panen.

Asuransi pertanian ini bekerja sama dengan PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo). Petani akan mendapatkan ganti rugi sebesar Rp6 juta per ha dengan masa pertanggungan sampai masa panen (4 bulan).

Premi yang dibayarkan sebesar Rp180.000 per hektare, namun petani diberikan subsidi dan hanya membayar Rp36.000 per ha dan sisanya Rp144.000 ditanggung pemerintah.

Sarwo Edhy menjelaskan petani yang mengalami gagal panen pada musim kemarau ini dapat mengajukan klaim ganti rugi. Sejauh ini, sejumlah petani telah mengajukan klaim akibat kekeringan.

"Sudah banyak petani yang mengajukan klaim dari bulan Juni lalu. Petani yang sudah ikut program asuransi dan mengalami kekeringan dapat mengajukannya," katanya.

Perkembangan AUTP Tahun 2019 sejauh ini mencapai realisasi luas lahan 76.702 ha atau 7,67 persen dari target pemerintah seluas 1 juta ha. Tahun ini Kementerian Pertanian mendapat pagu anggaran sebesar Rp144 miliar untuk AUTP.

Sementara itu, realisasi AUTP pada 2018 sekitar 806.200 ha dari target 1 juta ha (80,62 persen) dan tahun 2017 mencapai R997.961 ha dari target 1 juta ha.

Penurunan produksi

Kepala Dinas Pertanian (Distan) DIY Sasongko mengatakan selain faktor kekeringan, banyaknya lahan pertanian yang gagal panen disebabkan banyak petani yang salah memperkirakan musim tanam.

"Tanaman padi yang terancam dan telah mengalami gagal panen rata-rata baru ditanam pada masa tanam kedua pada April 2019," kata Sasongko. Dengan demikian, musim panen raya diperkirakan terjadi pada Agustus atau bertepatan puncak kemarau.

Senada dengan itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan bergesernya musim tanam, terutama di wilayah Jawa dan Sumatera berpotensi menurunkan produksi beras.

Dwi memperkirakan produksi beras nasional akan berkurang sebanyak 2 juta ton. Ada pun Kementerian Pertanian menargetkan produksi padi sepanjang 2019 mencapai 84 juta ton atau setara 49 juta ton beras.

Menurut dia, pemerintah harus menghitung lagi dengan cermat soal stok beras nasional yang ada di Bulog dan pedagang untuk mengantisipasi menurunnya produksi pangan di bulan Agustus karena kekeringan.

Saat ini, stok beras di gudang Bulog mencapai 2,4 juta ton, terdiri dari 2,2 juta ton cadangan beras pemerintah (CBP) dan 143.000 ton beras komersial. Perum Bulog menyatakan program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) atau operasi pasar beras medium akan diperpanjang hingga akhir Desember 2019.

Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan pihaknya akan menggelontorkan beras kapan pun ketika harga beras medium mulai bergejolak atau jauh di atas harga eceran tertinggi (HET), yakni Rp9.450 per kg (di wiayah Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Sulawesi, Bali dan NTB).

"Operasi pasar dilakukan untuk stabilisasi harga. Begitu harga naik, kami langsung turunkan beras. Ini memang tugas Bulog, beda dengan bantuan sosial yang harus menunggu pemerintah," kata pria yang akrab disapa Buwas tersebut.

Sebelumnya, Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang program KPSH demi stabilisasi harga pangan, khususnya beras. Keputusan ini merupakan hasil dari rapat koordinasi yang digelar di Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian.

Sebelumnya, program KPSH beras medium yang dilakukan Bulog telah dimulai sejak September 2018 dan berakhir pada 31 Mei 2019.

Dalam melanjutkan program stabilisasi harga ini, Bulog menargetkan akan menggelontorkan beras sebanyak 1,48 juta ton hingga akhir Desember. Hingga akhir Mei 2019, Bulog telah menyalurkan beras sebesar 225.000 ton untuk operasi pasar dan 2.000 ton untuk bantuan bencana alam.

Baca juga: Sawah di Indramayu terancam kekeringan, begini upaya pemerintah
Baca juga: Lahan sawah enam kecamatan di Karawang rawan kekeringan
Baca juga: Upaya petani Banten mengantisipasi kekeringan
Baca juga: 1.300 hektare sawah di Badung dapat asuransi gagal panen

 

Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019