Jakarta (ANTARA) - Staf Ahli Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud, Chatarina Muliana Girsang menyatakan kebijakan zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru 2019 dibuat untuk menjawab tantangan putus sekolah.

Dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9, Senin, Chatarina menyebut banyak anak yang tak bisa meneruskan sekolah karena tereliminir oleh seleksi hasil Ujian Nasional.

Hal ini diperkuat oleh Data Bappenas tahun 2018 yang menyatakan angka tenaga kerja Indonesia 57,4 persennya masih berpendidikan SMP ke bawah. Padahal negara bertujuan mewajibkan dan membiayai pendidikan anak bangsa dari SD hingga SMP.

“Angka putus sekolah SD dan SMP, ternyata mereka ini diseleksi dengan UN. Ini juga jadi sebab beberapa sekolah negeri jadi terstigma sekolah favorit. Sedangkan anak-anak yang enggak memenuhi syarat banyak putus sekolah,” kata Chatarina.

Baca juga: Delapan Kementerian/Lembaga akan terlibat dalam sistem zonasi

Hal ini kemudian diperparah dengan tidak meratanya jumlah sekolah di satu daerah.

Menurut Chatarina, jumlah SMP lebih sedikit dari SD, begitu pun jumlah SMA yang lebih sedikit dari SMP.

Dengan zonasi, dia pun berharap Pemda lebih mudah menghitung kebutuhan sekolah di daerahnya.

“Dengan zonasi juga akan terukur, kalau mengacu sekolah favorit karena upaya gurunya bukan karena anaknya. Sementara Pemda harus menghitung, berapa yang lulus SD, SMP, berapa yang harus ditambah,” ucap dia.

Selain itu, jarak sekolah yang dekat dari rumah juga akan membantu anak agar tumbuh bersama orang tua lebih lama dan meningkatkan komunikasi anak dengan orang tua.

Baca juga: Pakar: Persepsi keliru orang tua soal zonasi perlu diluruskan
Baca juga: PPDB di Bandarlampung terkendala kurang akurat sistem pemetaan lokasi

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019