Orang yang merekrut mereka kehidupannya sangat mewah, punya rumah bagus, mobil, pakaian keren, itu yang memotivasi mereka mau menikah
Jakarta (ANTARA) - Jaringan Masyarakat Peduli Human Trafficking (Perdagangan Orang) mengatakan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus pengantin pesanan terjebak mau direkrut  karena masalah keuangan hingga menutupi kehamilan.

"Korban berasal dari keluarga tidak mampu ditambah faktor kenakalan remaja," kata Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) untuk Mempawah Kalimantan Barat Mahadir ​​​​​​ dalam konferensi pers “Melawan Perdagangan Orang Modus Pengantin Pesanan” di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu.

Dari 13 korban tindak pidana perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan yang berasal dari Kalimantan Barat, ditemukan dua korban dalam keadaan hamil sehingga mereka mau menerima perekrutan untuk menikah dengan warga negara China untuk menutupi kehamilannya yang didapatkan akibat perbuatan terlarang di daerah asalnya, serta dijanjikan sejumlah uang dan dijamin hidupnya.

Dia menuturkan dua korban tersebut berangkat ke China dengan kondisi kehamilan antara 2-3 bulan.

Diberitakan sebanyak 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Barat menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus perkawinan (pengantin pesanan).

Bukan mendapatkan kehidupan yang nyaman dan berlimpah uang, justru para korban TPPO itu berujung pada pernikahan fiktif dan eksploitasi serta mendapatkan kekerasan dan dipekerjakan untuk menghasilkan uang bagi keluarga suami asal China itu.

Erna, advokat dari Parinama Astha yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Human Trafficking (Perdagangan Orang), mengatakan dua orang dari korban-korban TPPO modus pengantin untuk pernikahan fiktif di China berinisial YF dan D tergiur karena melihat kehidupan mewah yang dinikmati perekrut.

"Karena ada iming-iming dapat uang, kehidupan mereka di China enak, perkawinan hanya terjadi tiga bulan saja setelah itu dikembalikan ke Indonesia," ujarnya.

Dua korban yang berasal dari keluarga tidak mampu itu merupakan tamatan sekolah menengah pertama untuk korban yang berinisial D (25), dan lulusan sekolah menengah untuk korban YF (22).

"Orang yang merekrut mereka kehidupannya sangat mewah, punya rumah bagus, mobil, pakaian keren, itu yang memotivasi mereka mau menikah (dengan warga negara China)," ujarnya.

Apalagi calon pengantin pria yang berasal dari China itu menjanjikan mereka mendapatkan kehidupan baik dan jauh dari kemiskinan serta sejumlah uang yang akan dikirimkan kepada orang tua mereka di Indonesia.

Jaringan Masyarakat Peduli Human Trafficking terdiri dari SBMI, Parinama Astha, Komnas Perempuan, Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang, Aliansi Advokat Peduli Human Trafficking, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Apik Jakarta, ECPAT Indonesia, Negeriku Indonesia Jaya, Terranusa Institute, Gerakan Awam Scalabrinian, KePPak Perempuan, Jaringan Buruh Migran, JPIT, Jurnal Perempuan, SPRT, PPI, IPMAT, KKBM, Pertakina, Kami, KSBSI, Seruni, Jala PRT, Perkumpulan Pendidikan Pendampingan untuk Perempuan dan Masyarakat.

Baca juga: Korban kawin kontrak di Tiongkok sering disiksa keluarga suami
Baca juga: Polisi bantu pemulangan WNI korban kawin kontrak
Baca juga: Menguak sederet kasus TPPO dan TKI ilegal di Kalbar

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019