Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Sejumlah orang tua siswa di Kabupaten Jember, Jawa Timur mengeluhkan penerapan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2019 yang mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB.

"Tahun ini sekolah menerima kuota 90 persen dari pagu yang didasarkan dengan sistem jarak rumah dengan sekolah, sehingga hal itu jelas melanggar asas keadilan dan penghargaan terhadap hasil kerja keras siswa selama ujian nasional," kata orang tua siswa yang akan mendaftarkan anaknya ke SMP negeri, Oryza Ardiansyah Wirawan di Jember, Kamis.

Menurutnya, siswa seharusnya diseleksi berdasarkan hasil ujian nasional (UN) karena UN belum dihapus, namun kalau berdasarkan jarak rumah sepenuhnya, maka ikhtiar siswa diabaikan dan siswa harus menanggung beban konsekuensi orang tua dalam memilih lokasi rumah, sehingga hal tersebut sangat tidak adil.

"Kemudian yang harus dipertimbangkan juga tingkat luas wilayah, jumlah sekolah dan daya tampungnya. Bagaimana dengan siswa yang tinggal di pelosok-pelosok yang punya hasrat belajar tinggi," tuturnya.

Ia mengatakan sistem zonasi itu sebenarnya jalan pintas pemerintah memindahkan beban tanggung jawab pemerataan mutu pendidikan ke masyarakat, sehingga masyarakat dipaksa masuk ke sekolah negeri terdekat dengan rumah dengan imbauan bahwa tak ada sekolah favorit.

"Semua tentu tahu kemampuan guru dan infrastruktur sekolah berbeda-beda di Jember, sehingga seharusnya pemerintah memeratakan kualitas sekolah dan mendistribusikan guru, agar tak hanya di sekolah yang dinilai favorit saja. Itu harus dilakukan lebih dulu," katanya.

Oryza mengaku tidak bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang diinginkan sesuai kemampuan prestasinya, meskipun nilai UN nya cukup bagus karena terkendala sistem zonasi yang diterapkan di Kabupaten Jember.

Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang PNS Pemkab Jember Sugeng yang mengeluhkan penerapan zonasi PPDB tersebut dan ketersediaan sekolah di wilayah tertentu juga masih tidak merata.

"Kami orang tua dibuat kalang kabut dengan sistem zonasi tersebut dan jarak rumah dengan sekolah yang terdekat tidak ada, sehingga kerja keras selama enam tahun harus sia-sia karena kebijakan zonasi dalam PPDB tahun ini," katanya.

Sementara Kepala Dinas Pendidikan Jember Edy Budi Susilo mengakui bahwa banyak orang tua siswa yang mengeluhkan sistem zonasi tersebut karena tidak bisa menyekolahkan anaknya sesuai dengan keinginan dan terkendala jarak rumah dengan sekolah yang diinginkan cukup jauh.

"Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 yang menyebutkan tentang filosofi pemerataan pendidikan yang mengandung makna semua memiliki kesempatan yang sama, sehingga kebijakan itu harus dilaksanakan," tuturnya.

Dalam zonasi murni untuk SMP tidak mensyaratkan nilai atau hasil UN, sehingga semua mengacu kepada zonasi atau jarak terdekat antara rumah dengan sekolah yang dituju dalam zonasi tersebut.

"Penentuannya siswa yang rumahnya terdekat dengan sekolah yang dituju mendapat prioritas utama untuk sekolah di tempat tersebut, tanpa syarat nilai," katanya.

Edy mengatakan sistem zonasi tersebut adalah aturan yang harus dilaksanakan, sehingga orang tua juga harus bijak dalam menentukan sekolah dan bukan menonjolkan keinginannya, namun setiap kebijakan tentu akan ada evaluasi nantinya.*


Baca juga: Kemendikbud revisi kuota PPDB jalur prestasi

Baca juga: Masyarakat diminta tidak perdebatkan zonasi PPDB

Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019