Ada budaya RLS dan JLS di kalangan siswa kita. Ini sangat berbahaya
Jakarta (ANTARA) - Pengamat media sosial, Hariqo Wibawa Satria mengatakan budaya rekam langsung "share" (RLS) dan jepret langsung "share" (JLS) di media sosial sangat berbahaya efeknya, terutama untuk video tidak senonoh pelajar SMK Bulukumba, Sulawesi Selatan.

"Ada budaya RLS dan JLS di kalangan siswa kita. Ini sangat berbahaya," kata Direktur Eksekutif Komunikonten Hariqo itu saat dihubungi dari Jakarta, Senin.

Menurut dia, berbahayanya RLS dan JLS itu karena dapat memicu generasi muda lainnya meniru. Di awal kejadian, video itu bisa memberi peringatan kepada siswa. Tapi setahun kemudian, jika video itu masih beredar malah mendorong mereka kita melakukan hal serupa.

Hariqo yang juga dari Institut Media Sosial dan Diplomasi itu mengatakan pencegahan anak terpapar pornografi dan pornoaksi harus konsisten dilakukan.

 Terlebih saat ini budaya literasi atau melek media/ media sosial kerap naik ke permukaan saat ada konten mesum. Setelah isu meredup kemudian cenderung upaya pencegahan tenggelam.

"Kegiatan-kegiatan pencegahan dalam bentuk apapun harus rutin dan konsisten dilakukan. Siswa harus diajak berpikir panjang, jika kamu melakukan A, maka dampaknya akan sampai ke sini, dan lain-lain," kata dia.

Menurut dia, banyak media dan metode yang bisa digunakan agar di kepala siswa benar-benar tertanam soal kehati-kehatian dalam menggunakan ponsel dan medsos.

Hariqo mengatakan konten-konten untuk mengingatkan siswa tentang bahaya pornografi dan pergaulan bebas sebaiknya dibuat oleh siswa sendiri. Konten pencegahan dari siswa untuk siswa jumlahnya belum banyak maka harus terus didorong.

Dari sisi orang tua, dia mendesak agar mereka melakukan kendali strategis terhadap anaknya dalam menggunakan ponsel.

"Umumnya orangtua selalu meminta anaknya berhati-hati, menanyakan SIM sebelum menggunakan motor, mobil. Karena resiko mengemudi di jalan raya bisa berujung pada kematian. Tradisi mengingatkan ini belum banyak dilakukan ketika orang tua memberikan ponsel kepada anaknya," kata dia.

Dia mengatakan perlu gotong-royong menjaga anak dari paparan konten negatif. Sebab jika tidak dilakukan maka bukan bonus demografi yang Indonesia dapatkan nanti tapi bencana demografi.

Menurut dia, aset sumber daya manusia Indonesia penting yang terbesar saat ini di antaranya 45.379.879 siswa (Data Kemdikbud 2018), 7,5 juta mahasiswa (Data Kemenristekdikti 2018), pemuda dan usia produktif lainnya. SDM tersebut harus terus dilindungi untuk pertumbuhan bangsa di masa depan.

Dari sisi pemberitaan oleh media, Hariqo mengajak agar konten berita selain melaporkan perkembangan kasus juga disertai berisi peringatan, saran kepada orang tua, guru, sekolah, ormas, pemerintah dan unsur terkait agar kejadian serupa tidak terulang.


Tren naik turun

Dari penelusuran Komunikonten di "Googletrends", kata dia, kolom pencarian di berbagai platform medsos serta alat monitoring menunjukan bahwa sebuah video mesum yang terjadi di salah satu kota, berdampak luas ke seluruh Indonesia.

Pencarian tentang kata, kalimat kunci "jangan kasih nyala blitznya" mulai terjadi pada 12 Juni 2019 dan mencapai puncaknya pada 14 Juni 2019. Tren sempat turun sedikit pada 15 Juni dan naik kembali di 16 Juni 2019.

Kata kunci lainnya adalah: "video mesum siswa bulukumba" / "jangan kasih nyala" / "jangan ko kasih nyala blitznya" / "jangan kasih nyala blitznya video" / "jangan kasih nyala blitznya link".

"Pengguna internet berupaya mendapatkan identitas siswa dan videonya dari Youtube, Facebook dan Twitter, terutama di lokasi Bulukumba, Pare-Pare, Palopo, Kendari, Baubau, Palu, Makassar, Tarakan, Jayapura, Balikpapan dan Samarinda," kata dia.

Baca juga: KPAI dalami pelanggaran hak anak dalam penanganan video asusila

Baca juga: Sastrawan: Video "Bulukumba" akibat minimnya pemahaman nilai budaya

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019