Belajar dari kasus OTT KPK tersebut, yakni jangan coba-coba melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Mataram (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi V DPRD Nusa Tenggara Barat HMS Kasdiono meminta semua pihak bisa mengambil pelajaran dari kasus operasi tangkap tangan (OTT) sejumlah pejabat Imigrasi Mataram oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bisa memperbaiki pelayanan terhadap masyarakat.

"Kita sangat menyayangkan dan menyesalkan kejadian ini. Apalagi institusi ini ada kaitan dengan kita di Komisi V tentang dokumen perjalanan," ujarnya di Mataram, Rabu.

Menurut politisi Partai Demokrat itu, apa yang terjadi saat ini bisa diambil hikmahnya dan bisa menjadi bahan introspeksi diri, tidak hanya kepada institusi Imigrasi, tetapi juga institusi lainnya di NTB untuk lebih memperbaiki sistem pelayanan terhadap masyarakat.

"Mungkin ini cara Tuhan menegur kita dengan peristiwa tersebut," ucapnya.

Meski demikian, Kasdiono melihat dibalik OTT KPK tersebut, terdapat nilai positif yang bisa dipetik masyarakat umum dan aparat pemerintah lainnya. Yakni, jangan coba-coba melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

"Karena ini menyangkut warga negara asing (WNA). Ini bisa jadi pelajaran juga bagi warga asing untuk tidak coba-coba melakukan perbuatan yang melawan hukum di negara orang," katanya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tiga tersangka kasus suap penanganan perkara penyalahgunaan izin tinggal di lingkungan Kantor Imigrasi Mataram, NTB Tahun 2019.

Tiga tersangka itu, yakni Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram Kurniadie (KUR), Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram Yusriansyah Fazrin (YRI), dan Direktur PT Wisata Bahagia atau pengelola Wyndham Sundancer Lombok Liliana Hidayat (LIL).

"Ditahan untuk 20 hari pertama. KUR di Rutan Cabang KPK di gedung KPK lama, YRI di Rutan Cabang di Pomdam Jaya Guntur, dan LIL di Rutan Cabang KPK di belakang Gedung Merah Putih KPK," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta.

Untuk diketahui sebagai penerima dalam kasus itu, yaitu Kurniadie dan Yusriansyah Fazrin. Sedangkan sebagai pemberi, yaitu Liliana Hidayat.

Dalam konstruksi perkara kasus itu, dijelaskan bahwa Penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua WNA dengan inisial BGW dan MK yang diduga menyalahgunakan izin tinggal.

"Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa tetapi ternyata diduga bekerja di Wyndham Sundancer Lombok. PPNS lmigrasi setempat menduga dua WNA ini melanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian," ungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa (28/5) malam.

Merespons penangkapan tersebut, lanjut Alex, Liliana perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara melakukan negosiasi dengan PPNS Kantor lmigrasi Klas I Mataram agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut.

"Kantor Imigrasi Klas I Mataram telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan untuk dua WNA tersebut tanggal 22 Mei 2019. YRI kemudian menghubungi LIL untuk mengambil SPDP tersebut," kata Alex.

Permintaan pengambilan SPDP itu diduga sebagai kode untuk menaikkan harga untuk menghentikan kasus.

"LIL kemudian menawarkan uang sebesar Rp300 juta untuk menghentikan kasus tersebut, namun YRI menolak karena jumlahnya sedikit. Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut YIR berkoordinasi dengan atasannya KUR. Selanjutnya, diduga terjadi pertemuan antara YRI dan LIL untuk kembali membahas negosiasi harga," tuturnya.

Dalam OTT itu, KPK mengungkap modus baru yang digunakan Yusriansyah, Liliana, dan Kurniadie dalam negosiasi uang suap, yaitu menuliskan tawaran Liliana di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara dan kemudian Yusriansyah melaporkan pada Kurniadie untuk mendapat arahan atau persetujuan.

"Akhirnya disepakati jumlah uang untuk mengurus perkara dua WNA tersebut adalah Rp1,2 miliar," kata Alex.

Baca juga: Gubernur NTB prihatin pejabat imigrasi Mataram OTT KPK

Baca juga: KPK periksa tujuh orang yang ditangkap di NTB

 

Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019