Denpasar (ANTARA) - Bukan sekali ini saja capres Prabowo Subianto mengalami kekalahan, namun tiga kali kalah dengan tim pendukung/tim sukses yang berbeda, dan agaknya baru dalam kekalahan ketiga inilah yang berbuntut kericuhan.

Kericuhan itu sendiri cukup dramatis dengan diawali "perebutan" media sosial untuk melaporkan aksi penolakan hasil Pemilu sejak 21 Mei hingga 23 Mei 2019. Agaknya, "perang maya" dengan medsos itu justru menjadi penentu untuk ukuran sukses-tidaknya aksi massa itu sendiri.

Jadi, "perang nyata" sebenarnya nisbi tidak menarik, karena fakta di lapangan justru terlihat aparat kepolisian berusaha menggunakan protap (prosedur tetap) yang dimiliki dalam penanganan aksi massa agar tidak berbuntut masalah hukum yang menimpa dirinya secara eksternal maupun internal.

Di lapangan, massa yang umumnya pendukung salah satu pasangan capres itu tidak mau menyerah begitu saja, sehingga aparat kepolisian melakukan pembubaran dengan peluru gas airmata dan massa pun melawan dengan lemparan bom molotov dan batu ke arah aparat.

Komandan lapangan yang memimpin pengamanan aksi itu pun sempat melakukan negosiasi dengan mikrofon agar massa membubarkan diri. "Kita bukan musuh, jangan mau diadu domba, saya minta kembalikan semuanya pada proses hukum," ujar petugas itu.

Namun, massa justru semakin anarkis dengan melakukan pembakaran mobil, termasuk mobil polisi, merusak Polsek Gambir dan Asrama Brimob, sehingga aparat kepolisian pun melakukan tembakan peringatan dengan peluru karet hingga sebagian harus dilarikan ke rumah sakit.

Masalahnya, realitas di lapangan itu justru menjadi rumit dengan adanya "perang maya" yang saling menyudutkan dengan "share" unggahan yang saling menyudutkan antara massa dan aparat, padahal laporan ala dunia maya itu sangat rendah dalam akurasi, cenderung bias, dan "menutupi" fakta asli.

Misalnya, medsos memamerkan korban tewas dengan diberi narasi peluru tajam, terlepas valid atau tidaknya sumber tentang keberadaan peluru tajam, namun akhirnya juga ditemukan peluru tajam yang berasal dari mobil polisi yang dirusak massa, bukan dari moncong senjata aparat.

Fakta-fakta sumir tentang peluru tajam itu "dipakai" untuk menyudutkan aparat bahwa polisi menggunakan peluru tajam, meski peluru tajam itu tidak digunakan dalam pengamanan. Itulah medsos yang membuat "framing" sekenanya, asal bisa menyalahkan orang lain.

Tidak hanya itu, video tentang polisi "mengejar" massa hingga ke gang-gang dan masuk masjid, lalu adanya polisi yang didatangkan dari Cina juga menjadi isu yang meramaikan dunia maya, meski video itu merupakan video lama dan dari lokasi lain, sedangkan polisi Cina itu kebetulan WNI yang bermata sayu, namun "tembakan" isu sudah sangat berseliweran tanpa kendali.

Ya, "perang" medsos pun tak terelakkan. Bagi Polri, "perang maya" itu agak ribet, karena musuhnya tidak kelihatan, apalagi informasi yang dilaporkan lewat medsos itu dinilai polisi bukan fakta alias hoaks, karena foto dan video dari lokasi lain disebut-sebut baru saja terjadi.

Akhirnya, pimpinan Polri pun mengambil langkah cepat dengan melapor ke Kemkominfo untuk memblokir medsos. Kemkominfo pun menghubungi jejaring medsos (Facebook, instagram, twitter, WA) hingga akhirnya medsos pun mengalami "down" sejak 21 Mei hingga 25 Mei, namun teks, SMS, dan telepon masih terbaca.

Dengan medsos "down" itu, maka peperangan menjadi agak ringan dan Mabes Polri pun sambil bekerja pun melontarkan bantahan di sana-sini, seperti rumor personel polisi dari Cina yang sempat viral di media sosial.

"Banyak foto-foto yang tersebar di media sosial bahwa anggota Brimob itu berasal dari negeri bermata sipit. Itu tidak ada," tegas Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol M Iqbal di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta (22/5).

Ia menegaskan bahwa personel Brimob yang dikerahkan untuk pengamanan rangkaian aksi 22 Mei merupakan murni personel Brimob dari negara Indonesia, meski ada juga yang bermata sayu, tapi bukan asing. Penyebar hoaks tentang polisi asing itu pun sudah ditangkap polisi (25/5), yakni SJA.

Tidak hanya itu, rumor adanya anggota Brimob menyerang masjid seperti foto-foto yang tersebar di media sosial pun dibantah. Menurut Polri, foto-foto atau video-video yang di-"share" itu merupakan video lama dan dari lokasi lain yang sengaja diunggah ulang untuk tujuan provokasi massa.

Ya, medsos memang bisa menjadi masalah pada masyarakat yang tidak dewasa, karena mereka akan mudah terseret "banjir" informasi, padahal "informasi tanpa sumber" itu tidak layak dipercaya, karena foto bisa saja gambar tempelan, tanda tangan bisa "scan" atau pindai, video bisa comotan dari "dunia lain", suara bisa "dubbing", dan beragam "jebakan" lain di dunia maya yang sok benar.

Kembali ke Konstitusi
Dari fakta-fakta yang ada, agaknya sebagian aksi yang berlangsung memang merupakan protes murni (pemrotes), namun sebagian aksi yang lain merupakan aksi "penunggang" yang melampaui kelaziman dengan melakukan "perang maya" yang provokatif dan inkonstitusional, bahkan melakukan provokasi massa itu sudah sejak capres Prabowo maju mencalonkan diri.

Tidak hanya dua pola aksi itu, namun ada juga pola ketiga dengan "aktor canggih", karena mampu "merangkai" aksi yang hampir bersamaan dari Jakarta hingga Papua, Madura (Jatim), Pontianak (Kalimantan), dan sebagainya dengan serangkaian pembakaran kantor polisi.

Karena "perang" dengan tiga musuh (pemrotes-penunggang-aktor) sekaligus dan sebagian besar justru tidak kelihatan, agaknya Polri tidak mau ambil risiko dengan membuang waktu dalam melayani "desainer maya", karena itu penghentian "saklar" medsos dipilih, agar skala kerusuhan tidak meluas. "Tidak ada ruang untuk para perusuh. Perusuh harus ditindak tegas," kata Jokowi di Istana (22/5).

Langkah Polri bersama Kominfo dengan mencabut "saklar" medsos melalui kerja sama dengan "para pengendali" seperti Facebook, instagram, twitter, wahtsapp, dan sebagainya itu diapresiasi pakar keamanan siber Dr Pratama Persadha sebagai langkah tepat.

"Dalam kondisi 'chaos' seperti saat ini, pemerintah berkejaran dengan waktu agar konten hoaks dan 'false news' (berita palsu) yang berbahaya tidak menjadi asupan utama 'netizen' (warganet) di Tanah Air," kata Pratama menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Kamis (23/5/2019).

Dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi UGM Yogyakarta itu menilai langkah pemerintah membatasi akses media sosial (medsos) dalam situasi "chaos" guna mencegah konten provokasi terkait aksi 22 Mei 2019 di sejumlah daerah, adalah langkah tepat untuk darurat.

Upaya menghambat konten provokasi memang harus dimulai dari media penyebarannya agar konten hoaks dan false news yang berbahaya tidak menjadi asupan utama warganet di Tanah Air. "Jadi, alasan utamanya karena banyak berita palsu (false news) yang beredar di FB, WA, dan ig," tuturnya.

Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) itu mengemukakan pembatasan akses ke medsos oleh Pemerintah memang bisa menyulitkan pengguna WhatsApp untuk mengirim video dan gambar/foto.

Memang dikabarkan hanya Jakarta dan sekitarnya yang terdampak, namun faktanya sebagian besar masyarakat se-Tanah Air merasakan dampaknya. "Facebook dan Instagram juga dilaporkan sulit diakses dan 'feed' pada beranda tidak berganti atau tidak berubah," ujarnya.

Menurut Pratama, solusi ini memang belum sepenuhnya efektif, terutama masyarakat yang bergerak mulai memakai "virtual private network" (VPN). Di Sri Langka pada tahun 2018, misalnya, juga diterapkan pemblokiran ke medsos, karena ada kerusuhan.

"Namun, trafik ke media sosial di sana hanya turun 50 persen setelah diblokir, karena netizen Sri Langka berbondong-bondong beralih memakai VPN dan Telegram, tapi VPN juga tidak sepenuhnya aman dari peretasan. Intinya, upaya menghambat konten provokasi memang harus dimulai dari media penyebarannya," ucapnya.

Setelah kondisi stabil, lanjut Pratama, pemerintah harus menggalakkan edukasi internet sehat sehingga masyarakat minimal bisa menghalau konten negatif maupun membuat tandingan serta jawaban dari munculnya konten provokasi yang berbahaya.

Walhasil, perebutan "saklar" medsos agaknya merupakan pergeseran "perang" dari dunia nyata ke dunia maya, sehingga solusi secara maya juga menjadi pilihan, meski langkah Pemerintah membatasi akses medsos bisa saja dianggap melanggar Artikel ke-19 Deklarasi HAM se-Dunia, namun Pemerintah pun memiliki alasan untuk mencegah "chaos" dan sifatnya juga sementara.

"Efeknya ada sih tentunya. Tapi pemerintah yang melakukan itu pasti dengan pertimbangan yang banyak, tidak mungkin melakukannya dengan asal. Enggak masalah juga sih buat kita," ujar musisi, Ari Lasso, saat dihubungi ANTARA, Jumat (24/5/2019).

Bahkan, ia sangat menyayangkan peristiwa kericuhan 21-22 Mei 2019."Sebagai musisi, sebagai warga negara, sebagai orang yang sama-sama peduli sama negara ini, yang punya bentuk cinta masing-masing dengan negara ini, disayangkan sebenernya sampai terjadi peristiwa itu," ucap Ari.

Mantan vokalis Dewa 19 itu mengharapkan semua orang harus bisa menahan diri dan menjaga satu sama lain agar tidak mudah diprovokasi, apalagi seluruh dunia sekarang menyoroti pemilihan umum yang sudah berlangsung di republik ini pada 17 April 2019.

"Solusinya, apabila ada keberatan terhadap hasil pemilu dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi, sesuai aturan yang berlaku, dan agar tidak sampai ada korban. Ya, jangan ada (kejadian) lagi-lah, karena kita sudah terlalu jauh melangkah," tutur pelantun 'Perbedaan' itu.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019