Jakarta (ANTARA) - Kericuhan politik, alih-alih gerakan people power, itulah yang berlangsung pada 22 Mei di Jalan KS Tubun, Petamburan, Jakarta.


 
  Lewat siaran langsung sejumlah stasiun televisi di tempat kejadian, publik menyaksikan bagaimana orang-orang melampiaskan kemarahan mereka dengan melemparkan batu ke arah aparat penegak hukum, dengan latar mobil-mobil hangus terbakar.


 
  Seruan turun ke jalan secara damai, menghindari kekerasan, jauh-jauh hari sebelumnya yang digaungkan sejumlah politisi tak dihiraukan. Massa turun ke jalan tapi ricuh.


 
  Bagi para pengamat politik, ahli hukum tata negara, kericuhan yang juga diwarnai pembakaran mobil, bus milik Brimob itu merupakan konsekuensi logis atas narasi yang dibangun sebelumnya oleh sejumlah politisi yang tak siap menghadapi kekalahan dalam Pemilihan Presiden 2019.


 
  Pakar hukum dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan kericuhan 22 Mei itu akibat dari narasi people power yang digaungkan sebelumnya.


 
  Pertarungan dalam Pilpres 2019 yang menghadap-hadapkan dua kubu secara frontal, yang diwarnai kampanye negatif dan hitam di media sosial antara pendukung masing-masing capres, adalah ibarat rumput kering yang mudah terbakar ketika mendapat sedikit percikan api dari ucapan elite politik yang memprovokasi.


 
  Kericuhan politik 22 Mei yang tercetus juga oleh narasi tentang ketidakpercayaan terhadap  Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu akan terhindarkan jika apa yang diserukan politisi Partai Golkar Rizal Mallarangeng diikuti capres Prabowo Subianto.


 
  Dua jam setelah sejumlah lembaga survei mengumumkan hasil hitung cepat pencoblosan 17 April, politisi bekas didikan Indonesianis William Liddle itu menyarankan Prabowo segera mengucapkan selamat kepada pesaingnya, capres Joko Widodo yang dinyatakan memenangi Pilpres 2019 versi hitung cepat semua lembaga survei yang dipublikasikan secara serentak oleh sejumlah stasiun televisi.


 
  Bagi Rizal, hitung cepat itu kerja keilmuan yang peluang kesalahannya cuma kurang dari dua persen sementara selisih kemenangan Jokowi atas Prabowo menurut hasil hitung cepat sudah di atas 10 persen.


 
  Alih-alih mengucapkan selama kepada Jokowi, Prabowo justru membuat pernyataan yang membingungkan publik dengan mendeklarasikan bahwa menurut hasil survei internal koalisinya dia memenangi pilpres 17 April dengan angka yang membuat Rizal geleng-geleng kepala: 62 persen.


 
  Hasil akhir penghitungan suara oleh KPU ternyata menjustifikasi pernyataan Rizal bahwa angka KPU tak berbeda dengan angka yang dikeluarkan oleh hitung cepat jauh-jauh hari sebelumnya.


 
  Ketidakpercayaan Prabowo kepada metode keilmuan yang diwujudkan dalam kerja lembaga survei dalam bentuk hitung cepat itulah yang menuai tragedi politik yang mencederai demokrasi di Tanah Air.


 
  Kericuhan massal 22 Mei bukan saja menelan jiwa, menimbulkan luka-luka dan merusak harta benda tapi juga citra negara demokrasi RI di mata publik dunia.


 
  Laman koran terkemuka Inggris, The Guardian, menurunkan gambar dan video dengan landskap api berkobar dengan massa memenuhi jalanan, dilengkapi berita bertajuk: Kerusuhan di Indonesia: Enam Tewas Setelah Pengunjuk Rasa Bentrok Melawan Aparat atas Hasil Pemilu.


 
  Bagi publik di Eropa, korban tewas berjumlah enam orang bukan persoalan sepele, tentunya.


 
  Kericuhan politik juga dapat menurunkan nilai indeks praktik demokrasi menjadi merosot sekian poin. Pada titik inilah perlu kesadaran bersama bahwa membangun demokrasi bukan semata-mata urusan meningkatkan literasi politik warga di akar rumput tapi juga mencerahkan para elite politik untuk tidak mudah menjadi pengobar api kerusuhan dengan memprovokasi rakyat yang belum sepenuhnya melek politik.


 
  Kericuhan massal 22 Mei tampaknya perlu dijadikan pelajaran bagi elite politik untuk tidak diulangi. Kericuhan ini adalah yang pertama dalam sejarah dari segi jenis pencetusnya, yakni prasangka buruk politisi kepada lembaga penyelenggara pemilu dan ketidakpercayaan kepada lembaga hukum.


 
  Politisi senior Amien Rais yang memulai mewacanakan bahwa dia tak perlu mengadukan kecurangan pemilu ke Mahkamah Konstitusi tapi akan menggerakkan kekuatan rakyat turun ke jalan. “People power sah,” katanya di Masjid Sunda Kelapa 13 Maret lalu.


 
  Yang menarik, menurut pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Eddy O.S. Hiariej, hasutan atau ajakan untuk menggalang massa turun ke jalanan yang bisa dianggap merongrong stabilitas pemerintahan yang sah sudah dapat dikategorikan sebagai awal percobaan makar.


 
  Hukum memberikan ruang bagi penegak hukum untuk menangkap dan mengadili sang penghasut yang sudah terbukti memperlihatkan percobaan makar. Jadi ketika masih dalam tahap percobaan pun sang penghasut bisa ditangkap, diperiksa, diadili. Sebab, jika menanti percobaan itu dijalankan, bisa-bisa pemerintahan yang sah itu sudah kolaps, demikian argumen guru besar Fakultas Hukum UGM itu.


 
  Namun, tak semua yang dianjurkan pakar hukum dengan serta merta diikuti oleh aparat penegak hukum. Amien Rais pun tak serta merta ditangkap. Mengapa? Ada ruang-ruang yang serba penuh kemungkinan dalam ranah perpolitikan.


 
  Elite politik yang sedang memerintah pun tak mau terjebak dalam permainan lawannya yang sering sengaja mengujarkan pernyataan-pernyataan yang mengandung muatan subversif. Menangkap lawan politik tak jarang ujung-ujungnya bisa menjadi blunder politik bagi penguasa. Stigma penguasa otoriter akan segera dikenakan begitu aparat hukum menangkap oposan yang dituduh makar.


 
  Syahdan, kericuhan politik 22 Mei sudah berlalu. Demokrasi sempat tercederai dalam 24 jam namun kini sudah kembali ke jalur yang semestinya. Capres yang dinyatakan kalah oleh KPU dalam Pilpres 2019 telah menunjuk ahli hukum untuk mengajukan gugatan ke MK. Roda kereta demokrasi di Tanah Air kembali melaju di rel yang benar.


 
 


 
 

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019