Banyak petugas pemilu yang meninggal karena kelelahan. Undang-Undang Pemilu perlu diperbaiki
Jakarta (ANTARA) - Guru besar yang juga mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN-SGD) Bandung Prof Nanat Fatah Natsir menilai pelaksanaan Pemilihan Umum 2019 merupakan yang paling tidak efisien sepanjang sejarah pemilu di Indonesia.

"Banyak petugas pemilu yang meninggal karena kelelahan. Undang-Undang Pemilu perlu diperbaiki," katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

Nanat mengatakan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif sebaiknya dipisah karena terbukti tidak efektif dan membuat banyak anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di tempat pemilihan suara (TPS) kelelahan.

Selain itu, pemilihan legislatif yang bersamaan dengan pemilihan presiden membuat pemilih bingung dengan surat suara yang semakin banyak.

Ia juga mengusulkan agar saksi yang mengawasi pemungutan suara di TPS dijadikan sebagai perangkat pemilu yang tidak terpisahkan sehingga hasilnya lebih terpercaya.

"Biaya saksi harus dianggarkan seperti biaya lainnya. Dengan kata lain, biaya saksi masuk ke dalam anggaran pemilu dari APBN, bukan dari partai politik," katanya.

Ia juga mengusulkan agar jumlah partai politik peserta pemilu disederhanakan menjadi cukup tiga atau empat partai saja.

Menurut dia, partai politik yang banyak membuat pemilu tidak efisien dan menghabiskan biaya yang tinggi.

"Partai politik disederhanakan menjadi tiga atau empat partai, tetapi semuanya dibiayai APBN agar elite politik tidak korupsi untuk membiayai partai politiknya," kata Nanat Fatah Natsir.

Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyebutkan hingga Senin (22/4) malam, jumlah petugas KPPS yang meninggal 91 orang tersebar di 19 provinsi dan 374 petugas sakit. 

Baca juga: Akademisi: Pemilu yang sederhana tumbuhkan kualitas demokrasi

Baca juga: Total petugas KPPS meninggal 91 orang pada Pemilu 2019

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019