Jakarta (ANTARA) - Penyederhanaan regulasi merupakan salah satu solusi dalam rangka mencegah calon pekerja migran dalam menempuh jalan ilegal karena hingga kini masih banyak keluarga di Indonesia yang bergantung kepada remitansi penghasilan pekerja migran, kata seorang peneliti.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS),  Mercyta Jorsvinna Glorya di Jakarta, Senin, mengatakan remitansi yang selama ini dikirim oleh para pekerja migran kepada keluarga di kampung halaman terbukti telah meningkatkan perekonomian lokal.

"Banyak keluarga dari para pekerja migran yang akhirnya bisa memulai usaha atau mengembangkan usaha dan juga menyekolahkan anggota keluarga karena hasil kerja keras mereka di luar negeri," ucapnya.

Mercyta menambahkan, pemerintah seharusnya mau melihat dan mempelajari kembali mengenai regulasi penerimaan dan pemberangkatan pekerja migran yang sudah ada.

Regulasi yang sudah ada, ujar dia, dinilai masih memberatkan dan hal inilah yang menyebabkan banyaknya para calon pekerja migran yang memilih menggunakan jalur ilegal.

"Jalur resmi dinilai tidak mengakomodir atau menghalang-halangi mereka. Logikanya adalah jika jalur resmi dibuat lebih efektif tanpa birokrasi yang berbeli-belit, otomatis para calon pekerja migran akan lebih memilih jalur resmi yang sudah sesuai dengan ketentuan dari pemerintah," ungkap Mercyta.

Ia berpendapat bahwa beberapa hal yang dianggap memberatkan dalam regulasi yang ada antara lain adalah biaya yang terlalu besar, masa pelatihan yang terlalu lama, materi pelatihan yang kurang sesuai dengan perkembangan zaman dan juga besarnya peran agen dalam pengurusan regulasi keberangkatan.

Berbagai hal ini, menurut Mercyta membuat para calon pekerja atau pekerja yang akan kembali bekerja harus mengeluarkan biaya yang besar sebelum mereka mendapatkan penghasilan.

Selain itu, lanjutnya, hal lain yang perlu disoroti adalah mekanisme perekrutan para pekerja migran, terutama di tingkat masyarakat, seperti para agen pengirim pekerja migran ilegal biasanya akan mendatangi desa-desa di Indonesia untuk mengajak para perempuan untuk bekerja di luar negeri dengan iming-iming gaji besar.

Ia mengingatkan bahwa para perekrut ini terkadang merupakan kenalan, kerabat atau bahkan penduduk di desa itu sendiri.

"Karena merasa percaya dengan agen ini karena dianggap kerabat sekampung, maka para penduduk desa pun akhirnya terpengaruh dan bersedia untuk menjadi pekerja migran untuk dikirim ke luar negeri. Padahal setelah diselidiki bahwa agen tersebut bekerja untuk lembaga perekrutan yang tidak resmi," ucapnya.

Guna meminimalkan aksi-aksi tersebut, peran aparat daerah sangat diperlukan. Kepala desa dan jajarannya diharapkan bisa melakukan sosialisasi kepada warganya, serta aparat desa bisa berkoordinasi dengan dinas ketenagakerjaan setempat atau tingkat kabupaten atau provinsi terkait hal ini.

Selain itu, Mercyta juga meminta konsensus terkait pekerja migran di tingkat ASEAN yang sudah ditandatangani Indonesia bisa lebih efektif. Konsensus ini diharapkan bisa menghasilkan aturan yang lebih jelas dengan sanksi yang mengikat para anggotanya.

Kesepakatan bilateral atau multilateral terkait tenaga kerja antara Indonesia dengan negara lain tersebut juga dinilai layak ditingkatkan implementasinya.

Baca juga: BNP2TKI: melamar ke agen ilegal rentan jadi korban perdagangan orang

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019