Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) dr. A. Hamid Rochanan, SpB-KBD, MKes meminta Kementerian Kesehatan melakukan langkah konkrit terkait penundaan keputusan pencabutan beberapa obat terapi target kanker.

Pasalnya menurut Hamid, belum ada langkah konkrit terkait penundaan keputusan pencabutan beberapa obat terapi target kanker yang dijanjikan langsung oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPR pada 11 Maret lalu.

Belum adanya surat sebagai tindak lanjut RDPU itu membuat pasien kanker tak bisa mendapatkan obat yang menjadi haknya.

"Kami para ahli bedah digestif yang sehari-hari berinteraksi langsung dengan pasien kanker kolorektal merasa terpanggil melihat pasien tidak mendapatkan haknya atas obat dari BPJS Kesehatan karena belum ada edaran dari Kementerian Kesehatan untuk membatalkan keputusannya mencabut beberapa obat targeted therapy untuk kanker, termasuk kanker kolorektal," kata Hamid melalui siaran pers IKABDI, Jakarta, Selasa.

Hamid menjelaskan bahwa IKABDI sudah berkomunikasi dengan para pejabat berbagai tingkatan di Kementerian Kesehatan mempertanyakan tidak adanya sosialisasi khusus mengenai penundaan pencabutan beberapa obat targeted therapy kanker.

Menurut Hamid, karena pembatalan itu sudah berlaku melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan pada 1 Maret 2019, maka harus ada surat pembatalan yang bisa menjadi pegangan.

"Ketika Menteri Kesehatan dalam RDPU dengan Komisi IX pada Senin 11 Maret 2019 mengatakan akan menunda pelaksanaan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/707/2018, seharusnya ada sosialisasi dalam bentuk surat tertulis kepada rumah sakit-rumah sakit agar mereka punya pegangan untuk meresepkan obat yang sudah dicabut oleh surat yang berlaku sejak 1 Maret 2019 itu," kata Hamid.

Hamid menerangkan sekalipun dokter sudah meresepkan obat terapi target untuk diberikan kepada pasien, tapi pada kenyataannya pihak rumah sakit dan BPJS tidak memberikan obat tersebut.

"Bu Menteri mengatakan bahwa pasien akan tetap dilayani dengan kondisi seperti sebelum adanya surat pencabutan itu. Namun kenyataannya berdasarkan informasi di lapangan, dari 30 RS yang menangani pasien kanker kolorektal hingga pekan ini ada sekitar 75 pasien yang tidak terpenuhi haknya untuk dilayani dengan semestinya," kata Hamid.

Ketidakjelasan komunikasi mengenai penundaan pencabutan ini membuat pasien kesulitan untuk mendapatkan obatnya.

Sementara salah satu pasien kanker kolorektal, Aisyah mengaku kesulitan mendapatkan obat yang batal dicabut oleh Kementerian Kesehatan.

"Begitu sampai ke farmasi Rumah Sakit Dharmais, saya diinformasikan bahwa obat kanker kolorektal yang biasa saya konsumsi tidak ditanggung lagi oleh BPJS Kesehatan. Infonya dari farmasi bahwa ada pencabutan dari Menteri Kesehatan," kata Aisyah.

Aisyah menjelaskan bahwa info tersebut didapatkannya setelah RDPU di DPR 11 Maret 2019. Dia menjelaskan bahwa dokter yang menanganinya heran karena seharusnya obat itu tetap ditanggung karena pencabutannya ditangguhkan.

"Pihak farmasi mengatakan tidak bisa menerima resep obat tersebut karena tidak ada surat dari Kementerian Kesehatan mengenai penundaan pencabutan tersebut. Pihak farmasi dan BPJS Kesehatan di RS Dharmais menjelaskan bahwa mereka telah menerima surat pencabutan obat, namun tidak menerima surat pembatalan pencabutan tanggungan," kata Aisyah.

Sementara Ketua Umum Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli menyatakan kecewa terhadap Kementerian Kesehatan.

Menurut Yanthi, kondisi pasien kanker yang tidak mendapatkan obat yang menjadi haknya ini terkait tidak adanya langkah cepat dari Kementerian Kesehatan dalam melakukan sosialisasi ke rumah sakit dan BPJS Kesehatan.

Yanthi menjelaskan bahwa tidak adanya surat tersebut sama saja melakukan pembiaran atas kondisi yang tidak menguntungkan bagi pasien untuk mendapatkan obatnya.

Menurut Yanthi yang juga merupakan penyintas kanker ini, seharusnya Kementerian Kesehatan mengutamakan hak pasien yang sudah dijanjikannya dalam RDPU dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

"Dalam pengalaman kami selama ini menyuarakan hak pasien, seharusnya keluarnya surat penundaan pencabutan ini bisa keluar dalam waktu singkat. Kami jadi bertanya-tanya kenapa surat yang menguatkan pernyataan Ibu Menteri di DPR ini lama sekali keluarnya hingga pasien tidak bisa mendapatkan haknya atas obat yang layak," kata Yanthi.

Sementara anggota DPR RI Komisi IX Irma Suryani Chaniago meminta agar Kementerian Kesehatan menyesuaikan obat-obatan dengan kebutuhan masyarakat.

“Kami tidak setuju kalau kemudian obat itu (obat kanker) ditarik, obat itu harus tetap ada, tapi disesuaikan saja penggunaannya sesuai stadium penyakit kankernya. Lucu juga kalau ditarik, karena untuk beberapa stadium kalau tidak dikasih obatnya kan jadi tidak benar,” kata Irma.

Mengenai beberapa rumah sakit yang masih enggan menerima resep yang dikeluarkan dokter terhadap beberapa obat kanker yang sempat dihapus penjaminannya oleh Kementerian Kesehatan, Irma mengatakan bahwa mengenai pembatalan pencabutan itu harus dikomunikasikan kembali oleh Kementerian Kesehatan ke jajaran di bawahnya.

"Kementerian Kesehatan harus menjalankan peran edukasi masyarakat. Jadi antara pemerintah sebagai regulator, BPJS Kesehatan sebagai operator dan masyarakat terjadi komunikasi yang baik sehingga sama-sama membutuhkan dan bertanggung jawab," tutur Irma. 

Baca juga: Menkes kaji Bevacizumab dan Cetuximab masuk daftar tanggungan BPJS

Baca juga: PDIB minta dua obat kanker kolorektal tetap masuk Formularium Nasional

 

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019