Jakarta (ANTARA) -  Kurangnya pemahaman atas aturan yang berlaku membuat para tenaga migran memilih jalan non-prosedural yang berdampak pada tingginya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), kata Pegiat buruh migran dari International Organization for Migration (IOM) Indonesia Among Phundi Resi.

"Regulasi yang ada sudah baik, tetapi apakah regulasi ini disampaikan dengan bahasa yang mereka mengerti sehingga dapat dipahami dengan baik, apakah sosialisasinya dimengerti," kata Among di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan, pemerintah harus dapat mengukur sejauh mana sosialisasi tentang aturannya dan bagaimana kampanye tentang penggunaan agen-agen resmi dalam perekrutan pekerja migran ke luar negeri dimengerti oleh masyarakat tersebut.

Pemerintah daerah, juga menjadi faktor kunci dalam membuat strategi agar informasi tentang jalur resmi menjadi tenaga migran dapat tersampaikan dengan baik, ujarnya.

Kepala daerah dianggap lebih mengetahui karakteristik dari masyarakat di satu daerah sehingga dapat memilih cara komunikasi yang lebih efektif, ujarnya.

Tak hanya itu pendidikan tentang TPPO bagi aparat keamanan, masyarakat, lembaga penyedia layanan, LSM sangat dibutuhkan karena TPPO sangat terorganisasi dan terus mengikuti perkembangan zaman.

"Dulu mungkin melalui agen, mereka punya gedung dan lainnya, sekarang rekrutmen bisa melalui daring, di mana para pekerja juga bisa melamar sendiri," kata dia.

Asdep Perlindungan Hak Perempuan dari Tindak Pidana Perdagangan Orang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak Destri mengatakan TPPO mempunyai banyak modus, paling banyak adalah penyaluran tenaga kerja migran.


Baca juga: Pembentukan badan perlindungan migran tunggu terbit Perpres
Baca juga: Ribuan orang jadi korban perdagangan orang ke Timteng

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019