Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Yayasan Lembaga Badan Hukum Indonesia Asfinawati mengatakan kasus perundungan siswa SMP di Pontianak, Ad (14), bisa terjadi "trial by mob".

"Trial by mob" adalah putusan hukum yang diambil karena tekanan massa, hal itu terjadi karena aparat penegak hukum terlalu banyak memberikan detail informasi penyidikan yang seharusnya bukan untuk publik.

"Aparat penegak hukum telah melanggar kode etik dengan memberikan terlalu banyak detail seperti hasil visum. Hasil visum sebenarnya itu hanya untuk penyidik dan korban saja. Informasi ini jika sampai ke masyarakat dapat menjadi bias," kata dia.

Masyarakat umum tidak memiliki pemahaman yang sama dengan aparat penegak hukum tentang penyidikan. Informasi yang terlalu banyak diungkap ke publik dapat membuat publik terlalu banyak menuntut sehingga dapat menggiring aparat penegak hukum mengambil kesimpulan sesuai dengan logika masyarakat.

Dia mengatakan polisi harus menahan diri untuk tidak membeberkan bukti-bukti yang mereka dapat. Hal ini untuk meminimalkan campur tangan publik dalam penyidikan kasus tersebut.

Polresta Pontianak, Rabu malam (10/4) telah menetapkan tiga tersangka masing-masing berinisial FA atau Ll, TP atau Ar dan NN atau Ec (siswa SMA) dugaan kasus penganiayaan seorang pelajar SMP di Kota Pontianak.

Penetapan tersebut, dari hasil pemeriksaan yang ketiganya mengakui penganiayaan, tetapi tidak melakukan pengeroyokan dan merusak area sensitif seperti informasi yang beredar di media sosial.

Semenjak penetapan tersebut banyak publik yang mengekspresikan kegeramannya dengan meminta hukuman keras bagi pelaku anak, termasuk pidana penjara.

Sesuai dengan UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka dilakukan diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana).

Baca juga: Menko PMK minta kasus perundungan Ad tidak terulang
Baca juga: Menteri PPA : pelaku perundungan Ad tidak dapat dihukum mati

 

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019