Jakarta (ANTARA) - Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin mengatakan perkawinan anak menyumbang seperempat kegagalan pembangunan bagi Indonesia.

"Angka perkawinan anak nasional pada 2017 adalah 25,7 persen. Perkawinan anak menyumbang seperempat kegagalan wajib belajar 12 tahun, angka kematian ibu, kematian bayi dan pekerja anak," kata Lenny dalam bincang media yang diadakan di Jakarta, Jumat.

Pernyataan Lenny tersebut mengacu pada data Badan Pusat Statistik pada 2017 tentang persentase perempuan berumur 20 tahun hingga 24 tahun yang pernah kawin yang umur perkawinan pertamanya di bawah 18 tahun.

Menurut Lenny, angka tersebut sangat mengkhawatirkan karena bila dilihat per provinsi, terdapat 23 provinsi yang angkanya di atas angka nasional.

"Yang tertinggi adalah Kalimantan Selatan, yaitu 39,53 persen; sedangkan yang terendah adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 11,07 persen," tuturnya.

Mengacu pada data tersebut, Lenny kemudian memaparkan capaian pembangunan kedua provinsi tersebut.

Jumlah siswa putus sekolah, Kalimantan jauh lebih tinggi daripada Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun ajaran 2017/2018, siswa putus SD di Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 151 anak, sedangkan di Kalimantan Selatan 462 anak.

"Hal itu juga terlihat pada status kesehatan dan gizi anak di kedua provinsi. Terbukti, semakin tinggi perkawinan anak, semakin buruk status kesehatan dan gizi anak," katanya.

Angka perkawinan anak yang rendah juga terbukti berdampak baik terhadap Indeks Pembangunan Manusia.

Pada 2017, Indeks Pembangunan Manusia di Daerah Istimewa Yogyakarta 78,89 persen, di atas indeks nasional yang 70,81 persen, dan jauh di atas Kalimantan Selatan yang hanya 69,65 persen.

Lenny N Rosalin menjadi narasumber dalam bincang media bertema "Peran Pemerintah Pascakeputusan Mahkamah Konstitusi tentang Perkawinan Anak" yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Selain Lenny, narasumber lainnya adalah Koordinator Kelompok Kerja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia Indry Oktaviani.*


Baca juga: Koalisi Perempuan: perlu perubahan kebijakan cegah perkawinan anak

Baca juga: KPPPA sebut perkawinan anak hambat Indeks Pembangunan Manusia


 

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019