Jakarta (ANTARA News) - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta aparatur penegak hukum harus profesional dan memahami hak korban dalam penanganan dugaan kasus kekerasan seksual oleh oknum anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan.

Direktur ICJR, Anggara, dalam siaran pers di Jakarta, Rabu, mengingatkan aparatur penegak hukum termasuk polisi, berhati-hati dalam memproses kasus ini.

Hal itu mengingat terduga yang dilaporkan korban justru melaporkan balik korban karena merasa tak melakukan hal yang dituduhkan.

"Kasus-kasus serupa bukan pertama kali terjadi di Indonesia, kondisi dimana terduga korban kekerasan seksual atas tuduhannya memperoleh serangan balik dari tertuduh banyak terjadi ataupun terjadi dalam konteks terduga pelaku telah ditetapkan menjadi tersangka atau terdakwa," kata Anggara.

Dalam kasus ini, jika proses pelaporan dilakukan korban, aparatur harus mengingat bahwa pada korban melekat hak-hak yang harus dilindungi.

Salah satunya hak untuk tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya.

Korban dalam proses hukumnya juga berhak untuk memperoleh perlindungan keamanan, bebas dari pertanyaan menjerat dan berhak mendapatkan perlindungan (sesuai Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 31/2014 tentang Perubahan UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban).

Tidak hanya itu, dalam konteks pencemaran nama baik, terdapat aturan Pasal 310 ayat (3) KUHP yang menyatakan, tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, bila perbuatan itu jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

"Sehingga dalam konteks ini, jika nanti SAB melaporkan pelapor atas dugaan pencemaran nama baik, maka polisi harus secara profesional mampu menggali kebenaran tentang dugaan bahwa pelapor adalah korban kekerasan seksual yang sedang membela diri dan fakta bahwa korban telah melakukan upaya untuk memproses kasusnya di internal BPJS Ketenagakerjaan," kata dia.

Dalam kasus kekerasan seksual, perlindungan korban harus menjadi prioritas utama dalam penanganan kasus. Kekerasan seksual memberikan dampak traumatis yang sistematis bagi korban.

"Sehingga menjadi penting bagi negara lewat aparat penegak hukum untuk menjamin keberlangsungan hidup korban, baik dalam proses hukum dalam bentuk penyediaan layanan pendampingan korban yang memadai, maupun setelah proses hukum berlangsung dengan menjamin korban memperoleh haknya berupa penggantian kerugian ataupun pendampingan psikososial yang berkelanjutan," kata dia.

Sebelumnya, publik Indonesia kembali dikejutkan pada kasus dugaan kekerasan seksual yang kali ini menimpa RA, pegawai di BPJS Ketenagakerjaan.

RA telah melaporkan kasus yang menimpa dia kepada jajaran anggota Dewan Pengawas, namun laporannya diabaikan dan justru RA akhirnya dikenai pemutusan hubungan kerja sejak akhir Desember 2018.

Atas tuduhan ini, oknum anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan yang tertuduh diberitakan berencana melaporkan RA atas dugaan pencemaran nama baik ke polisi. Hal ini dikarenakan tertuduh tidak merasa pernah melakukan kekerasan seksual sebagaimana disampaikan RA kepada publik.

Pewarta: Aubrey Fanani
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019