Jakarta (ANTARA News) - Direktur Utama PT Erni Putra Terari, Tamin Sukardi didakwa menyuap Merry Purba dan Sontan Merauke Sinaga selaku hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pengadilan Medan sebesar 280 ribu dolar Singapura (sekira Rp2,96 miliar) melalui Helpandi sebagai panitera. 

"Terdakwa Tamin Sukardi bersama-sama dengan Hadi Setiawan alias Erik memberi uang seluruhnya berjumlah 280 ribu dolar Singapura, dimana sebagian uang yaitu sebanyak 150 ribu dolar Singapura diberikan kepada Helpandi selaku panitera pengganti pengadilan Tipikor pada PN Medan untuk kepentingan Merry Purba selaku hakim ad hoc tipikor sedangkan sisanya 130 ribu dolar Singapura rencananya akan diberikan kepada Sontan Merauke Sinaga selaku hakim anggota I," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Luki Nugroho di pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.

Tujuan pemberian itu adalah agar Tamin mendapat putusan bebas dalam putusan perkara tipikor nomor: 33/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn mengenai pengalihan tanah negara/milik PTPN II kepada pihak lain seluas 106 hektar bekas Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II Tanjung Morawa di Pasa IV Desa Helvetia, Deli Serdang atas nama Tamin Sukardi.

Ketua PN Medan Marsudin Nainggolan lalu menunjuk Wahyu Prasetyo Wibowo sebagai hakim ketua, Sontan Merauke Sinaga sebagai hakim anggota I dan Merry Purba sebagai hakim anggota II Ad hoc, serta Helpandi sebagai panitera pengganti. Wahyu lalu menerbitkan surat peneptapan penahan terhadap Tamin di rutan Tanjung Gusta Medan selama 30 hari sejak 10 April 2018.

Sidang dimulai 28 April 2018 saat sidang pembacaan surat dakwaan, selanjutnya Tamin mengajukan permohonan pengalihan sataus menjadi tahanan rumah dengan alasan medis pada 9 Juli 2018. Saat Helpandi mengajukan draf pengalihan status Tamin, masing-masing hakim menanyakan kepada Helpandi dengan kalimat "kok hanya tanda tangan saja?".

Tamin lalu beralih status penahanannya menjadi tahanan rumah pada 10 Juli 2010.

"Dalam beberapa kali permintaan tanda tangan untuk penetapan izin berobat terdakwa Tamin, terlontar pertanyaan baik dari Merry Purba, Sontan Merauke maupun Wahyu Prasetyo dengan kalimat seperti 'kok gini-gini aja?' atau 'kerja baktinya aja kita dek?', atau 'teken aja kita ini?'. Atas kalimat tersebut Helpandi memahaminya sebagai permintaan uang atau barang dari majelis hakim," tambah jaksa Luki.

Staf administrasi perusahaan Tamin, Sudarni Samosir bersama kuasa hukum Tamin Faridah Ariany Nasution lalu menemui Helpandi di Loppo Mall Medan untuk menanyakan sikap majelis hakim.

"Dalam pertemuan tersebut Helpandi menyampaikan kekecewaan majelis hakim karena selama proses persidangan perkara tidak ada pemberian uang kepada majelis hakim," ungkap jaksa Luki.

Sudarni lalu melaporkan hasil pertemuan dengan Helpandi kepada Tamin dan ia pun meminta agar mengkomunikasikan dengan majelis hakim agar hakim tidak kecewa dan agar putusan perkaranya bebas pada 27 Agustus 2018.

Pada 23 Agustus 2018, Tamin menghubungi Helpandi melalui ponsel yang digunakan Sudarni dan menyampaikan kepada Helpandi "Pak Wakil sudah aman, sudah dapat pohon, pohonnya sudah ditanam dan berbunga," yang dipahami Helpandi bahwa sudah ada pemberian sejumlah uang sebelumnya.

Tamin juga kembali menyampaikan kepada Helpandi akan ada "tanaman baru" untuk itu Tamin minta masukan Helpandi mengenai jumlah uang yang harus disiapkan, Helpandi lalu menyebut untuk menyiapkan sebesar Rp3 miliar untuk tiga orang hakim dan Tamin menyanggupinya.

Tamin juga membelikan ponsel baru untuk Sudarni dan Helpandi demi memperlanjar komunikasi. 

Ia kemudian menghubungi rekannya Hadi Setiawan yang sudah berkomitmen untuk membantu dirinya. Tamin memberikan uang sejumlah 280 ribu dolar Singapura dalam amplop ke Hadi untuk diserahkan ke majelis hakim.

Sudarni lalu menemui Helpandi di PN Medan dan menyampaikan sejumlah kode dalam pembicaraan yaitu: Wayan Naiobaho adalah Tamin Sukardi, Wayan adalah Wahyu Prasetyo Wibowo selaku Wakil Ketua PN Medan dan ketua majelis perkara, pohon adalah uang, Naibaho adalah ketua PN Medan, asisten adalah hakim anggota, danau toba/Dtoba/Dantob/Batang adalah Sontan Merauke Sinaga dan ratu kecantikan adalah Merry Purba.

Pada 24 Agustus 2018, Helpandi bertemu dengan Merry Purba di lorong kerja dan mengatakan bahwa Tamin minta dibantu untuk putusan dan akan ada pemberian sejumlah uang dari Tamin.

"Terhadap pemberian tersebut Merry Purba mengatakan 'aman kan dek? Hati-hati ya' dan ditanggapi Helpandi dengan kalimat 'jadi bagaimana kelanjutannya, saya dengan orang itu karena dengar-dengarnya dia mau kasih 2 atau 3. Ibu tahu kan ada permintaan mereka?" ungkap jaksa Luki.

Selanjutnya Merry meminta Helpandi untuk mengatur cara penerimaan uang. Hari itu juga Hadi Setiawan memberikan 280 ribu dolar Singapura kepada Helpandi dengan mengatakan "ini untuk kiri dan kanan" yang dimengerti Helpandi bahwa uang untuk Merry Purba dan Sontan Merauke.

Helpandi pun bertanya "yang tengah?" lalu Hadi Setiawan menyampaikan "Tengah tidak usah. Urusan saya sudah selesai, ketua pengadilan negeri sudah, pusat sudah. Selesaikan kalau bisa malam ini".

Kemudian Helpandi membagi uang tersebut yaitu 150 ribu dolar Singapura untuk Merry Pruba dimasukkan ke amplop cokelat dan sisanya 130 ribu dolar Singapura untuk Sontan Merauke Sinaga dimasukkan ke tas kerja miliknya.

Uang untuk Merry Purba diserahkan pada 25 Agustus 2018 di show room mobil Honda di Jalan Adam Malik, Helpandi lalu memberikan 150 ribu dolar Singapura kepada seorang pria yang mengendarai mobil Toyota Rush milik Merry Purba sedangkan uang untuk Sontan akan diserahkan sesaat putusan dibacakan yaitu 27 Agustus 2018.

Pada  27 Agustus 2018, majelis hakim memutuskan Tamin Sukardi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tipikor secara bersama-sama dan dijatuhi pidana 6 tahun, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp132,468 miliar sedangkan hakim Merry Purba menyatakan "dissenting opinion" yaitu dakwaan tidak terbukti dengan alasan sudah ada putusan perdata berkekuatan hukum tetap.

Pada 28 Agustus 2018 petugas KPK lalu menangkap Helpandi, Tamin Sukardi, Merry Purba dan selanjutnya pada 4 September 2018 Hadi Setiawan menyerahkan diri kepada petugas KPK di hotel Suncity Surabaya.

Tamin dan Hadi didakwa melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a dan atau pasal 5 ayat 1 dan atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp750 juta.

Terhadap dakwaan itu, Tamin mengajukan keberatan (eksepsi) yang akan disampaikan pada 7 Januari 2019 sedangkan Hadi tidak mengajukan eksepsi.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018