Makassar (ANTARA News) - Menjadi Bissu bukan pilihan mudah. Ketika seseorang memenuhi panggilan untuk menjadi Bissu, orang suci, ia harus siap selalu menjaga perilaku selaras dengan ucapan, kesantunan, dan kharisma atau yang dikenal dengan istilah "malebbi" dalam Bahasa Bugis.

Menurut epos La Galigo dari masa Bugis kuno, kelahiran Bissu sama tuanya dengan kehadiran manusia di Bumi. Ketika dewa penguasa langit mengutus Barata Guru turun ke Bumi, dua Bissu diutus mendampinginya. Bissu itulah yang kemudian mengatur semua urusan di dunia, mulai dari menciptakan bahasa, adat istiadat, serta apapun yang dibutuhkan sebuah dunia baru.

Keberadaan para Bissu sangat penting dalam kehidupan adat Kerajaan Bugis dan Luwu sebelum Islam datang ke Sulawesi Selatan pada abad ke-15.

Guru besar filologi Universitas Hasanuddin Makassar Prof Dr Nuhayati Rahman menjelaskan pada masa lalu Bissu berperan sebagai penasihat raja, orang kepercayaan, pemimpin upacara adat, dan penghubung antara manusia dan para dewa.

"Dia berada di tengah-tengah karena dia menjadi penghubung antara dewa dan manusia biasa, makanya kalau dia berdoa telapak tangan menghadap ke atas kemudian ke bawah," kata Nurhayati, penerjemah I La Galigo.

Posisi Bissu berada di tengah-tengah, menjaga keseimbangan dunia atas atau botting langi' yang juga dianggap sebagai representasi maskulinitas dan dunia bawah atau bori' liu yang mewakili feminitas menurut mitologi orang Bugis.

Para Bissu dianggap sebagai pendeta suci yang mewakili manusia dan memiliki gender sendiri yang mewakili laki-laki dan perempuan. Pada upacara resmi, Bissu mengenakan busana yang berbeda dengan umumnya busana laki-laki atau perempuan; dan sebagai pelengkap Bissu membawa badik sebagai simbol laki-laki dan menyampirkan bunga di kepala sebagai simbol perempuan.

Kini, Bissu masih dapat dijumpai di beberapa daerah yang dahulu wilayah Kerajaan Bugis, di antaranya Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) dan Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan.

Bissu-bissu berada di wilayah Kecamatan Segeri di Kabupaten Pangkep, yang berbatasan dengan Kabupaten Barru di utara, Kabupaten Maros di selatan, Kalimantan Selatan-Jawa Timur-Nusa Tenggara Barat di bagian barat dan Kabupaten Bone di timur.

Sekitar satu kilometer dari jalan poros Makassar-Parepare, ada bola arajang (rumah pusaka), yang berada di kawasan benteng peninggalan penjajahan Belanda di Segeri.

Rumah panggung yang bercat hijau itu menyimpan benda-benda pusaka, dan merupakan tempat pelaksanaan upacara adat pada waktu-waktu tertentu seperti upacara turun sawah saat memasuki musim hujan (Mappalili).

Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah setempat terlibat dalam upacara adat Mappalili yang dipimpin oleh Bissu Puang Toa atau Bissu yang dituakan di sana.

"Kami menjadikan Mappalili ini sebagai kalender wisata tahunan untuk melestarikan budaya daerah," kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pangkep Dasriana.


Kampung Bissu Segeri

Pada Bissu tinggal di perkampungan yang pada masa lalu merupakan benteng pertahanan Belanda di Kecamatan Segeri.

Di rumah panggung bercat hijau tempat menyimpan benda pusaka (arajang) yang berada di depan bangunan kuno kurang terurus dan di belakang rumah panggung khas Bugis, Bissu Puang Toa tinggal.

Jumlah Bissu di Segeri yang semula sekitar 40 orang kini hanya tersisa enam orang, dan hanya lima yang masih aktif menjalankan kegiatan kebissuan, serta mengikuti acara-acara budaya.

"Tinggal enam untuk sementara, Puang Toa Wa'`nani, Puang Lolo Juleha, Bissu Tanre Wa'Sale', Bissu Ponco Wa'Matang, Usman dan Eka," kata Dasriana.

Ia menjelaskan bahwa pada Bissu yang tersisa sampai sekarang masih memegang teguh adat, budaya, serta kearifan lokal.

Pada upacara Mappalili saat memasuki musim tanam, Bissu Puang Toa akan tampil menjadi pemimpin upacara adat dan menurunkan arajang berupa alat membajak sawah setelah tudang sipulung atau duduk bermusyawarah menentukan hari baik turun ke sawah.

Setelah Bissu memimpin doa bersama para pemangku adat, unsur pemerintah dan masyarakat setempat memulai arak-arakan turun sawah, yang meliputi aksi saling siram ketika melintasi saluran irigasi setelah upacara Mappalili.

Dasriana mengatakan komunitas Bissu yang tersisa tidak boleh dibiarkan punah. Dia terlibat dalam upaya-upaya untuk memperkenalkan kembali Bissu dengan menampilkan atraksi budaya Mabbisu dan tarian Maggiri, yang mencakup aksi menusuk badang dengan keris atau badik tanpa luka.

"Bissu ini merupakan salah satu aset budaya dan sejarah," kata Dasriana, penulis terbaik Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) 2018 Lembaga Administrasi Negara (LAN) Makassar dengan laporan bertajuk "U'dani ri Bissu" (merindukan Bissu).


Ruang Bissu

Bissu di Segeri adalah penganut agama Islam yang memilih mempertahankan budaya dan kearifan lokal turun-temurun.

"Kita harus menghargai perbedaaan bahwa memang ada di masyarakat begitu mempercayai itu, mereka harus diberi hak hidup, karena ini menyangkut masalah hati dan keyakinan, aqidah," kata Prof Nurhayati Rahman.

Pemerintah harus hadir melindungi komunitas seperti Bissu, yang merupakan aset budaya daerah dan nasional mengingat keberadaannya membuat Sulawesi Selatan menjadi satu-satunya daerah di dunia yang mencakup lima gender: laki-laki, perempuan, calabai (laki-laki yang berperangai perempuan), calalai (perempuan berperangai laki-laki), dan Bissu yang dalam posisi bukan laki-laki dan bukan perempuan namun mewakili dua gender itu sebagai penghubung antara dewata (Tuhan) dan manusia.

Bissu dalam kesehariannya hidup berbaur dengan masyarakat, bahkan dihormati sebagai orang yang suci di Segeri.

Warga Segeri, Nadira, mengatakan setiap ada pernikahan, keluarganya memanggil Bissu untuk menjadi perias pengantin meski sudah banyak perias pengantin dari salon.

Keluarganya memilih menggunakan jasa Bissu karena mereka mempunyai doa-doa untuk melanggengkan pernikahan dan keselamatan penyelenggara hajatan.


Regenerasi Bissu

Kini sehari-hari para Bissu berusaha menghidupi diri dan keluarga mereka dengan menjadi indo botting (tukang rias pengantin), peternak itik, atau sanro untuk pengobatan herbal.

Bissu Puang Lolo Juleha mengatakan pemerintah daerah juga menunjukkan dukungan terhadap komunitas Bissu di Segeri. Dukungan itu sedikit banyak membawa perubahan pada kehidupan para Bissu, namun belum membawa pengaruh signifikan pada upaya regenerasi Bissu.

"Anak-anak sekarang susahnya jadi Bissu karena banyakan anak-anak passalon (pekerja salon), lebih memilih mencari banyak uang. Sementara pesan leluhur untuk menjadi Bissu harus malebbi na mabbisu (menjaga kharisma menjadi Bissu)," Dasriana menjelaskan.

Selain itu, umumnya anak-anak muda sekarang kurang bisa membaca aksara Lontarak, yang dibutuhkan untuk memahami sejarah budaya yang sebagian besar tertuang dalam buku Lontarak dalam bahasa khusus Bissu yang dikenal dengan nama himme.

Lima Bissu yang tersisa bisa mengajarkan aksara Lontarak dan bahasa himme. Namun peminatnya jarang.

Tantangan lainnya adalah waktu cukup lama yang dibutuhkan untuk belajar dan berlatih menjadi Bissu. Seorang Bissu yang terbilang muda, Usman, harus belajar dan berlatih sedikitnya tiga tahun agar dapat tampil dalam ritual Bissu termasuk Maggiri.

Ia belajar dari Bissu Puang Toa Saidi yang kini sudah almarhum dan Bissu Wa'Made untuk mengenal Dewatae (Tuhan) atau Puatta SewwaE.

"Untuk menjadi Bissu, harus ada petunjuk atau biasanya lewat mimpi setelah melalui proses tahapan menjadi Bissu," kata Bissu Juleha.

Ia menambahkan bahwa pada pada zaman dulu calon Bissu harus puasa tiga hingga tujuh hari dan menjalankan beberapa pantangan, termasuk pantang menebang pohon, dan berkata bohong.


Perpustakaan Terbakar

Prof Nurhayati Rahman menganalogikan fenomena komunitas Bissu di Kabupaten Pangkep dengan perpustakaan terbakar.

"Teori the library on fire ini menganalogikan bahwa suatu saat kita hanya dengar Bissu dalam kamus atau tulisan atau dalam film," ujarnya.

Menurut dia komunitas Bissu hanya akan bisa lestari kalau ada empat persyaratan yang dibutuhkan untuk revitalisasi kebudayaan, yakni ada budaya yang mau diselamatkan, ada orang tua yang mau mengajarkan budaya itu, ada anak yang mau belajar, dan ada masyarakat yang mau memanfaatkannya.

Kalau melihat perkembangan Bissu di Segeri sekarang, penerjemah karya satra I La Galigo yang sudah mendapatkan pengakuan UNESCO itu melanjutkan, persyaratan ketiga dan keempat yang sulit terpenuhi.

Namun, ia mengatakan, sepanjang atraksi budaya seperti Mappalili masih dibutuhkan oleh masyarakat dan mendapat dukungan pemerintah para Bissu yang tersisa akan bisa bertahan.

"Ada kalanya sebuah budaya harus mati, kalau budaya itu sudah tidak dibutuhkan oleh masyarakatnya," katanya.

Dan bagaimana pun juga bila regenerasi tidak terjadi maka 10 hingga 30 tahun ke depan Bissu bisa tinggal nama.

Baca juga: Bissu Saidi Hafal Sembilan Naskah Lagaligo

 

Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018