Palu, Sulawesi Tengah (ANTARA News) - Keramaian suasana Kelurahan Petobo di Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, seketika berubah menjadi kepanikan ketika gempa 7,4 Skala Rihter mengguncang wilayah itu pada 28 September petang.

Wilayah kelurahan seluas 1.040 hektare yang dihuni 13.000 warga etnis Kaili Ledo, Bugis, Jawa, Bali dan etnis lainnya itu menjadi kacau. Orang-orang yang panik berhamburan keluar rumah.

Dan suasana menjadi makin mengerikan setelah gempa delapan detik itu memicu keluarnya lumpur dari perut bumi, yang menyebabkan rumah-rumah warga roboh, jalan aspal patah dan mengerucut, bahkan hanyut diseret gelombang lumpur hingga ratusan meter.

Hajali Tenggo (71) saat bencana itu terjadi sedang berada di dalam kamar tidur, bersiap untuk melaksanakan shalat magrib di masjid yang berjarak kurang lebih 20 meter dari rumahnya.

Di rumah Hajali ada dua anak kandungnya, Rika Wahyuni dan Fatrini, serta seorang menantunya. Ketika merasakan guncangan dahsyat, sontak ketiganya berusaha keluar rumah lewat pintu depan. Sementara Hajali yang terpental ke kiri dan kanan akibat guncangan berusaha berdiri dan menyelamatkan diri dari pintu belakang.

"Kalau saya keluar dari pintu depan pasti akan tertimpa reruntuhan bangunan yang ada di depan rumah, saya coba lari kebelakang lewat pintu dapur," tuturnya kepada kontributor ANTARA, Moch Ridwan.

Sementara itu, anak Hajali yang bernama Fadli dan istrinya yang bernama Mira Khairunnisa serta dua anaknya mereka yang bernama Bintang dan Yeyen berada di halaman rumah, melihat tanah terbelah dan gelombang lumpur datang menghantam dari arah timur.

"Saat itu kami terpisah, anak dan cucu sudah di depan jalan sementara saya di samping rumah, sedangkan anak bungsu dan anak mantu saya berdiri di antara dua rumah yang baru dibangun," katanya menjelaskan.

Hajali ketika itu terus berusaha mencari tempat berpegangan agar ia tidak terpental akibat guncangan, dan menemukan batang pohon belimbing yang kemudian dia pegang erat.

Ia kembali mencari tepat lebih aman namun ia terpental lagi persis di samping dinding rumah tetanganya, saat ia jatuh rumahnya beregak dan kaki kirinya terjepit bungunan rumah.

Saat guncangan kedua yang lebih keras terjadi, Hajali berusaha sekuat tenaga naik ke atap rumah berdinding papan tempat tinggalnya yang sudah roboh. Anak dan cucunya masih bertahan di bawah pohon mangga, sedang anaknya Rika dan menantunya Mira terjebak di lumpur.

"Papa tolong saya, ta jepit saya!" begitu anak bungsunya memanggil Hajali dari jarak kurang lebih enam meter dari tempat dia berlindung.

Namun gelombang lumpur menghantam mereka. Menantunya seperti tertelan lumpur, tetapi Rika masih berada di posisinya. Hajali berusaha menolong anaknya, menggali lumpur yang menutup setengah badan Rika menggunakan tangan. Saat situasi mulai tenang ia meminta bantuan anak laki-lakinya Fadli menolong anak bungsunya tersebut.

Namun air semakin tinggi hingga menutup sebagian mulut Rika sehingga Hajali kayu tepat di bawah dagu Rika agar kepalanya tetap menengadah ke atas. Namun air semakin tinggi, dan Rika tak lagi bisa bertahan. 

"Ia sempat meminta saya untuk menuntunya mengucapkan dua kalimat syahadat dan istighfar, Rika juga meminta maaf dengan kakak-kakaknya sebelum ia meninggal dunia," kenangnya sambil berlinang air mata.

Hajali merasa sangat terpukul, namun ia terus berusaha menguatkan hatinya. Saat malam datang dia bersama anak dan cucunya kembali ke atas atap rumah sambil mengharap pertolongan.

Begitu Cepat

Menurut Hajali kejadian itu begitu cepat. Hanya dalam hitungan menit gempa dan gelombang lumpur meluluh lantahkan semua bangunan maupun semua yang ada di kempungnya, menggesernya sampai ratusan meter dari posisi semula.

Setelah gempa dan lumpur berlalu, di tengah kegelapan keluarga Hajali bertahan hanya dengan baju di badan yang basah, sementara angin bertiup kencang dan membawa dingin yang terasa menusuk hingga ke tulang.

Di atap rumah itu, mereka kemudian menyaksikan rumah yang terbakar hanyut di hadapan mereka menujuh arah anaknya Rika yang sudah meninggal. Bersama rumah itu ada ember hitam yang hanyut, Hajali langsung meraihnya.

"Ternyata dalam ember itu ada air bersi, tadinya dipakai siram api akhirnya tidak jadi air bersih itu saya simpan. Dalam hati saya anakku pasti terbakar, Alhamdulillah rumah hanyut terbakar itu hanya lewat di samping anak saya," katanya.

Hajali bersama anggota keluarganya bertahan di atap rumah hanya dengan air sampai pagi, Sabtu (29/9) pukul 05.30 WITA. Pagi itu mereka berusaha mencari tempat lebih aman, melewati kubangan air hampir setinggi dada orang dewasa menuju arah utara dengan kaki terluka akibat sayatan atap seng, berjalan sambil menusuk-nusuk tanah untuk memastikannya aman dipijak.

Tiga jam lamanya mereka berjalan sampai mendapati tanah kering yang dianggap aman sekitar 500 meter dari tempat mereka semula berada.

"Pokoknya semuanya hancur berantakan, tanah terbelah, jalan aspal mengerucut keatas setinggi setengah meter, padahal secara logika jarak 500 meter itu tidak lebih lima menit kita berjalan kaki," ucapnya.

Meski ada yang selamat, tak sedikit warga yang tewas terkubur lumpur di Petobo bersama rumah, harta benda, dan bahkan keluarga mereka akibat bencana itu.

Baca juga: Tim SAR Gabungan evakuasi 119 jenazah di Petobo
Baca juga: 180 hektare area Petobo dan 202 hektare area Jono Oge ambles

 

Pewarta: Aditya Ramadhan dan Moh Ridwan
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018