Jakarta, 1/ 9(ANTARA NEWS) - Pakar komunikasi politik dari Universitas Gajah Mada, Nyarwi Ahmad,  menilai Indonesia saat ini sedang terjadi ledakan partisipasi politik yang tampak dari penggunaan media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan lainnya berkaitan dengan konten politik.

Penggunaan media sosial di Indonesia termasuk terbesar di dunia. Partai politik harus bisa memanfaatkan ledakan partisipasi politik ini.

Demikian dikatakan pakar komunikasi politik dari Universitas Gajah Mada, Nyarwi Ahmad, dalam diskusi bertema “Penguatan Partisipasi Politik Masyarakat” di Media Center MPR/DPR/DPD, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (31/9/2018).

Nyarwi menjelaskan partisipasi politik adalah substansi atau inti dari demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa partisipasi.

“Tagar 2019 Ganti Presiden atau tagar 2019 Tetap Bersaudara, merupakan satu metamorphosis partisipasi politik. Partisipasi bertemu antara yang online dan offline, atau antara media sosial dan kenyataan (real). Ini positif karena partisipasi kelas menengah yang sebelumnya malu-malu sekarang muncul dan menguat. Bahasa-bahasa politik tidak lagi dengan bahasa standar, yang formal, ilmiah. Tapi bahasa visual, seperti meme,” jelasnya. 

Karena itu Nyarwi menegaskan bahwa saat ini terjadi ledakan partisipasi politik di Indonesia. Ini dapat dilihat dari pengguna media sosial, termasuk facebook, twitter, di Indonesia adalah yang terbesar di dunia.

Menurut Nyarwi karena memang ledakan partisipasi politik sangat luar biasa terjadi di Indonesia. Ini harus dimanage. Ledakan partisipasi politik ini bisa positif, artinya partai politik memanfaatkan partisipasi politik, misalnya mengambil peran dalam narasi. Atau menggaet aktor-aktor penting untuk masuk dalam partai politik.

“Saya optimis ledakan partisipasi politik di Indonesia, seperti terlihat dalam aktivitas diskusi, platform politik, bisa memberi manfaat positif. Artinya orang peduli dengan dunia politik. Itu sudah satu poin. Karena itu tingkat kepercayaan pada partai politik perlu ditingkatkan. Bonus demografi dan kelas menengah akan membuat riuh perpolitikan,” sambungnya.

Sebagai perbandingan, partisipasi politik di Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara lainnya. Negara-negara lain risau karena rendahnya partisipasi politik.

“Partisipasi dalam pemilu negara lain, rata-rata tidak sampai 60%. Partisipasi dalam pemilu 50% saja sudah tinggi, seperti di Italia. Partisipasi politik di Indonesia yang 70% sudah tinggi sekali,”ucapnya. 

Sementara itu, anggota MPR dari Fraksi PKB Abdul Kadir Karding mengatakan partisipasi politik menjadi ukuran bagi demokrasi. Kalau partisipasinya besar dianggap demokrasi lebih baik. Tapi kalau partisipasinya rendah maka menjadi lampu kuning bagi demokrasi. Partisipasi bisa menjadi ukuran legitimasi sebuah kekuasaan.

“Saya kira para politisi harus secara cerdas dan kreatif menggunakan instrumen media komunikasi seperti media sosial untuk menggerakan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban memilih. Medsos harus menjadi instrumen,” katanya. 

Apalagi 30% pemilih adalah generasi milenial.

“Karena itu, kita harus berkampanye dan melakukan pendidikan dengan mengetahui karakter dan harapan generasi ini. Mereka ini mobile, suka internet, yang praktis, berbau hobi, uang cash sudah tidak terlalu tertarik. Ciri-ciri mereka harus dipahami. Mereka juga mudah berpindah. Satu saat bisa ke Jokowi, tapi bisa pindah ke Prabowo,”paparnya. 

Selain itu generasi milenial ini mau berpartisipasi kalau kinerja politikus dan DPR baik. Padahal survei menunjukkan tingkat kepercayaan kepada DPR rendah.

“Kalau tingkat kepercayaan rendah, kampanye dari politikus tidak laku. Partai politik dan politisi harus meningkatkan kepercayaan masyarakat. Ini secara langsung atau tidak langsung bisa memobilisasi partisipasi masyarakat,” pungkasnya.

Pewarta: Jaka Sugiyanta
Editor: Jaka Sugiyanta
Copyright © ANTARA 2018