Saya pernah disebut gila oleh karena menanam bibit bakau. Tapi saya tidak peduli dengan cibiran itu semua. Yang penting sekarang kami bisa memberikan manfaat masyarakat desa,
Pekanbaru  (ANTARA News) - Terbebas dari kebakaran hutan dan lahan untuk kembali menghirup udara segar menjadi anugerah terindah bagi masyarakat Desa Mekar Jaya, Kabupaten Siak.

Mekar Jaya merupakan desa baru yang terbentuk pada 2010. Saat ini, sekitar 1.000 jiwa mendiami desa yang berlokasi di pesisir Provinsi Riau tersebut.

Selama bertahun-tahun, desa yang memiliki luas wilayah 16.000 hektare yang sebagian besarnya merupakan lahan gambut itu mengalami kebakaran. Setiap musim kemarau tiba pula, masyarakat desa dihantui dengan kabut asap hebat.

Salah satu peristiwa kabut asap yang masih melekat erat di memori masyarakat yakni pada 2015. Setiap hari selama lebih dari sebulan lamanya masyarakat tak mendapat pasokan oksigen memadai. Berbagai penyakit lantas melanda, yang mayoritas jelas adalah ISPA atau infeksi saluran pernafasan akut.

Peristiwa kelam itu kemudian melecut semangat pemuda-pemuda desa untuk melakukan sesuatu, hingga terbentuk Masyarakat Peduli Api (MPA). Sebuah kelompok masyarakat yang berdiri karena alasan penderitaan yang sama.

Mereka selanjutnya menjadi garda terdepan untuk melawan karhutla ketika menyerang desa. Namun, pekerjaan itu bukan sesuatu yang mudah. Selain keterbatasan peralatan pemadaman, mereka juga tak diupah.

Dari puluhan relawan yang mendaftar menjadi anggota MPA, hanya beberapa yang bertahan di dalamnya. Alasan ekonomi jelas menjadi faktor utama. Mereka tak ingin anak istri keluarga terabaikan hanya karena terus memadamkan karhutla.

Adalah Setiono, pria berusia 38 tahun yang menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar menjadi penggerak MPA di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak.

Setiono mengisahkan dirinya bersama sejumlah warga lainnya membentuk MPA pada 2013 atau saat karhutla masih melanda desa yang berjarak sekitar lima jam perjalanan darat dari Kota Pekanbaru itu.

Untuk menuju desa tersebut, Antara bersama dengan perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus mengarungi akses jalan buruk dan berdebu, akhir pekan kemarin.

Semangat Setiono seolah-olah menjadi sumber air di tengah gurun pasir. Ia menyegarkan dan terus memberi asa bagi warga desa.

Memang, sejak MPA terbentuk, hasilnya tak serta merta terlihat. Namun, setelah pengalaman kelam 2015, desa itu hingga kini terbebas dari kebakaran.

Saat ini, Setiono mengatakan 25 masyarakat desa yang gigih dan menjadi anggota tetap MPA. Setiap hari mereka berpatroli dan langsung melakukan pemadaman ketika menemukan kebakaran.

Hasilnya, saat sejumlah daerah di Riau mengalami kebakaran hebat, desa tersebut saat ini telah "merdeka" dari belenggu asap.

Terus Berdiri

Setiono menyadari bahwa MPA harus terus berdiri secara mandiri dan berkelanjutan atau regenerasi.

Dia juga menyadari anggotanya tidak akan bertahan jika tidak memiliki penghasilan, sementara waktu mereka harus tersita menjaga desa dari karhutla.

Untuk itu, pria beranak dua itu kemudian berupaya menggali sumber ekonomi baru dengan menggarap sumber daya desa yang ada. Saat ini, salah satu yang berhasil dikelola dan dikembangkan adalah lokasi wisata hutan mangrove.

Hutan mangrove yang sebagian rusak parah akibat aksi pembalakan liar di kampung itu kini disulap menjadi lokasi wisata nan asri.

Setiono juga berhasil menggerakkan anggota MPA untuk merestorasi dengan menanam kembali mangrove di lokasi itu.

"Saya pernah disebut gila oleh karena menanam bibit bakau. Tapi saya tidak peduli dengan cibiran itu semua. Yang penting sekarang kami bisa memberikan manfaat masyarakat desa," katanya dengan semangat saat dijumpai Antara di desanya.

Setiono mengatakan menjadi MPA tidak melulu soal pencegahan dan penanggulangan karhutla. Namun juga harus bisa mandiri secara ekonomi.

Lokasi Eco Wisata Mangrove yang dikembangkan oleh MPA, kini tampak sangat apik. Gubuk-gubuk sederhana serta jembatan dibangun mengelilingi hutan bakau seluas 25 hektare tersebut.

Selain itu, dibangun beberapa kolam budi daya untuk ternak siput, kerang, kepiting, hingga udang. Setiap pengunjung yang datang tidak hanya disuguhi keindahan dan harmoni hutan bakau, namun juga makanan laut lezat dengan harga terjangkau.

Saat ini, lokasi wisata itu mampu menjaring 300 pengunjung setiap bulannya. Sementara pada hari libur, angka pengunjung meningkat berkali lipat.

Jelas, keberadaan eko wisata mangrove pertama di Kabupaten Siak itu tidak hanya mampu mengangkat ekonomi MPA melainkan juga masyarakat desa.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan terus mendorong MPA untuk menciptakan kemandirian ekonomi kreatif, seperti MPA Desa Mekar Jaya.

"Direktorat Jenderal Pengendalian dan Perubahan Iklum nanti kita dorong bagaimana tingkatkan upaya itu dikaitkan dengan kegiatan perhutanan sosial," kata Kepala Biro Humas KLHK Djati Witjaksono Hadi.

Ia berharap sinergi yang baik antara KLHK dan MPA yang telah berjalan dan bahkan makin berkembang di Provinsi Riau dapat berjalan dengan baik.

Terlebih lagi, KLHK saat ini tengah mendorong perhutanan sosial untuk peningkatan ekonomi masyarakat desa, yang menurut dia saat ini masih dalam tahap verifikasi dan perizinan.

"Desa-desa yang sudah masuk ke hutan desa bisa lebih baik lagi melalui usaha perhutanan sosial. Mudah-mudahan dapat kami sinergikan dengan dukungan yang ada, terutama desa rawan kebakaran," jelasnya.

Berdasarkan tinjauan KLHK, berbagai kelompok MPA di Provinsi Riau saat ini berjalan cukup efektif. Bahkan, beberapa di antaranya berhasil menciptakan peluang dan menggali ekonomi baru hingga berdampak positif bagi masyarakat desa.

Keberadaan MPA di Riau seharusnya dapat menjadi contoh bagi daerah lain yang rawan karhutla untuk dapat menerapkan hal serupa.

"MPA yang sudah berkembang di Riau perlu terus dikembangkan mengingat manfaat MPA sangat efektif. Artinya dari tingkat tapak mereka sudah mampu mengendalikan karhutla sendiri," jelasnya.*

 


Baca juga: Taman Nasional Matalawa bentuk masyarakat peduli api
Baca juga: KLH deteksi kawasan rawan kebakaran hutan

 

Pewarta: Bayu Agustari Adha/Anggi Romadhoni
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018