Jakarta (ANTARA News) - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang ditetapkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 18 Oktober 2002 memuat delapan bab dan 47 pasal.

Delapan bab mengatur tentang ketentuan umum; lingkung berlakunya peraturan pemerintah pengganti undang-undang; tindak pidana terorisme; tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme; penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan; kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi; kerja sama internasional; dan ketentuan penutup

Dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, yang disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 4 April 2003 hanya memuat dua pasal. Pasal 1 berbunyi "Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4232) ditetapkan menjadi Undang-Undang". Pasal 2 berbunyi "Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan".

Sementara dalam RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, memuat perubahan bab dan pasal.

Pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 dalam RUU, terdapat perubahan dan penambahan butir dibandingkan dengan isi peraturan sebelumnya.

Pada butir pengertian setiap orang, misalnya, peraturan sebelumnya menjelaskan "setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi", dalam RUU berubah menjadi "setiap orang adalah orang perseorangan atau Korporasi".

Pada butir ancaman kekerasan, dalam peraturan sebelumnya menyebutkan "ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas", dalam RUU diubah menjadi "ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat".

Obyek vital yang strategis, dalam peraturan sebelumnya, adalah tempat, lokasi, atau bangunan yang mempunyai nilai ekonomis, politis, sosial, budaya, dan pertahanan serta keamanan yang sangat tinggi, termasuk fasilitas internasional, dalam RUU diubah berbunyi "obyek vital yang strategis adalah kawasan, tempat, lokasi, bangunan, atau instalasi yang: a. menyangkut hajat hidup orang banyak, harkat dan martabat bangsa; b. merupakan sumber pendapatan negara yang mempunyai nilai politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau c. menyangkut pertahanan dan keamanan yang sangat tinggi, termasuk fasilitas internasional.

Jumlah butir pada peraturan sebelumnya sebanyak 12 butir, dalam RUU ditambah satu dengan butir pengertian deradikalisasi adalah suatu proses yang dilakukan melalui metode sistematis dalam rangka reintegrasi sosial yang diterapkan terhadap orang atau kelompok orang yang terpapar paham radikal terorisme, dengan tujuan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan proses radikalisasi yang telah terjadi.

Sementara pengertian tentang tindak pidana terorisme, korporasi, kekerasan, pemerintah Republik Indonesia, perwakilan negara asing, organisasi internasional, harta kekayaan, fasilitas publik, dan bahan peledak, tidak ada revisi.

Baca juga: RUU Terorisme (Bagian 1) - Revisi menimbang dan mengingat

Baca juga: RUU Terorisme (Bagian 3): Revisi penyidikan dan perlindungan korban

Baca juga: RUU Terorisme (Bagian 4): Menambah bab baru, tugas TNI


Dalam RUU, pada Bab III Tindak Pidana Terorisme, disisipkan pasal baru, yakni Pasal 10A yang terdiri atas empat ayat. Pasal 10A ayat (1) berbunyi "Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, atau mengeluarkan dari Indonesia Bahan Peledak, senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir, radioaktif atau komponennya, dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun".

Pasal 10A ayat (2) berbunyi "Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan bahan potensial sebagai Bahan Peledak atau memperdagangkan komponen, senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, bahan nuklir, atau radioaktif, untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau Pasal 10, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun".

Pasal 10 ayat (3) "Dalam hal bahan potensial atau komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbukti digunakan dalam Tindak Pidana Terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun".

Pasal 10A ayat (4) "Setiap Orang yang memasukkan ke dan/atau mengeluarkan dari Indonesia suatu barang selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang dapat dipergunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun".

Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 dalam peraturan lama, disisipkan dua pasal, yakni Pasal 12A dan Pasal 12B dalam RUU.

Pasal 12A terdiri atas tiga ayat, yakni ayat (1) "Setiap orang yang dengan maksud melakukan atau akan melakukan tindak pidana Terorisme di Indonesia atau di negara lain merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan tindak pidana terorisme dengan orang yang berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun".

Pasal 12A ayat (2) "Setiap Orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota Korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun".

Pasal 12A ayat (3) "Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan kegiatan korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun".

Pasal 12B terdiri atas lima ayat, yakni ayat (1) "Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut perang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun".

Pasal 12B ayat (2) "Setiap Orang yang dengan sengaja merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3(tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun".

Pasal 12B ayat (3) "Setiap Orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik tertulis maupun digital dengan untuk digunakan dalam pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun".

Pasal 12B ayat (4) "Setiap warga negara Indonesia yang dijatuhi pidana terorisme sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun".

Pasal 12B ayat (5) "Pelaksanaan pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok".

Sementara dalam RUU pada Pasal 13 dan Pasal 14 juga disisipkan satu pasal. Pasal 13A yang berbunyi "Setiap Orang yang memiliki hubungan dengan jaringan terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun".

Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi "Setiap orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun".

Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi "Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, persiapan, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, dan Pasal 13A".

Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan satu pasal yakni Pasal 16A yang berbunyi "Setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)".

Baca juga: Menkopolhukam kantongi janji penyelesaian revisi UU Antiterorisme

Baca juga: Soal revisi UU Antiterorisme, Fadli Zon ingatkan agar tak jadi alat pelanggaran HAM

Baca juga: UU Antiterorisme lindungi HAM lebih besar, kata Mahfud MD

Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018