Jakarta (ANTARA News) - Pendiri Lembaga Bantuan Hukum Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (LBH PAHAM) Indonesia, Heru Susetyo menyayangkan narasi yang disebarkan penegak hukum dalam upaya penangangan terorisme banyak memberikan stigmatisasi kepada kelompok masyarakat agama tertentu dan menyesatkan opini di masyarakat.

"Terorisme pada dasarnya adalah kejahatan yang definisinya dibentuk secara elastis oleh konstelasi sosial dan politik. Ada sekitar 109 definisi terorisme di seluruh dunia," kata Heru dalam diskusi "Menangkal Terorisme, Melawan Fear of Crime", di Jakarta, Rabu.

Dosen Hukum dan HAM Fakultas Hukum UI ini menyebutkan, segala bentuk kejahatan yang merampas hak hidup dan kedamaian adalah musuh bersama yang harus diperangi.

Namun dirinya mengkritisi mengenai pemberian label teroris dan terorisme yang tidak jelas batasannya saat ini.

Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia ini menjelaskan berdasarkan kajian hukum, viktimologi, dan Hak Asasi Manusia yang dilakukannya, dirinya mempermasalahkan penegakkan hukum yang tidak jelas batasan lingkup kejahatan yang ditangani. Definisi teroris dan terorisme tidak bisa dianggap remeh dalam sudut pandang hukum.

Ia mencontohkan pada kejahatan internasional, penembakan massal di Amerika hanya disebut sebagai pembunuhan massal dan bukan terorisme. Atau berbagai gerakan separatis di Papua dan Maluku yang tidak disebut teroris padahal nyata mengancam eksistensi kesatuan negara.

Sementara itu, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Muhammad Iqbal menyayangkan narasi terorisme terjebak pada stigmatisasi kelompok ajaran Islam dengan narasi radikalisme agama.

"Ada kesalahan definisi juga pada makna radikal, seringnya orang Islam jadi korban stigma," kata Iqbal.

Ia mengatakan bahwa radikal adalah sebuah pikiran atau sikap lompatan melakukan perubahan. Tidak ada masalah pada makna asli radikal. Namun saat ini sikap radikal ini diwujudkan dengan tindak kejahatan yang melawan norma sosial maka radikalisme menjadi masalah.

Stigmatisasi pada kalangan penganut Islam justru bisa memicu sikap radikal yang salah dalam beragama menjadi subur.

"Yang awalnya mereka tidak mau, akhirnya sekalian jadi teroris karena dituduh terus," ucapnya.

Ia menyoroti bahwa para pelaku teror sebenarnya menunjukkan gejala gangguan kejiwaan. Kebanyakan pelaku memiliki latar belakang masalah sosial dan ekonomi yang membuatnya berprilaku radikal secara salah.

"Janji indah agama membuat mereka mencari jalan cepat kebahagiaan, keluar dari masalahnya, ini perlu dilihat secara utuh," katanya seraya menambahkan masalah yang dialami para pelaku ini tidak selalu masalah ekonomi, namun juga masalah sosial di lingkungan keluarga yang terakumulasi sepanjang hidupnya.

Baca juga: Polresta Palembang razia perbatasan untuk cegah teroris masuk kota

Baca juga: Polisi benarkan penyerang Mapolda Riau tinggalkan surat

Baca juga: Polda Riau identifikasi empat jenazah terduga teroris

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018