Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pendahuluan uji Pasal 73 ayat (3), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (3) dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang memuat ketentuan mengenai pemanggilan paksa oleh DPR.

Pengujian kali ini dilakukan atas permohonan lembaga swadaya masyarakat Komite Pemantau Legislatif (Kopel) dan Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), serta seorang warga bernama Lardo Surya Dharma.

"Bahwa permohonan ini diajukan baik secara formil maupun materiil, formil terhadap proses pembetukan UU a quo, juga materiil terhadap pasal-pasal a quo," ujar kuasa hukum para pemohon Veri Junaedi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.

Pemohon menilai bahwa pembentukan undang-undang a quo perlu diuji karena proses pembahasannya dilaksanakan tanpa sepengetahuan dan persetujuan presiden. Selain itu pemohon mempermasalahkan materi muatan pasal a quo yang tidak dicantumkan di dalam naskah akademik meski menjadi sebuah kewajiban di dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan.

"Baik itu revisi maupun penggantian undang-undang mesti mencantumkan di dalam naskah akademik terkait dengan beberapa ketentuan pasal," kata Veri.

Veri menjelaskan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji ternyata tidak masuk di dalam naskah akademik, sehingga terkesan proses penyusunan dilakukan secara terburu-buru, dan menyebabkan proses pembuatan undang-undang di luar dari apa yang sudah direncanakan sejak awal.

Para pemohon juga mempermasalahkan ketentuan a quo yang dibentuk tanpa adanya konsultasi publik di dalam prose penyusunan undang-undang a quo karena proses dilakukan secara cepat dan proses partisipasi publiknya tidak dilakukan secara terbuka.

Di samping itu, menurut pemohon materi muatan terkait dengan ketentuan a quo bertentangan dengan Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 yang menegaskan perlunya konsultasi ke MKD. Ketentuan tentang itu sudah dihapus melalui putusan MK, namun di dalam undang-undang a quo kemudian dihidupkan kembali oleh DPR.

"Alasan berikutnya adalah terkait dengan adanya ancaman terhadap pemanggilan paksa kepada setiap orang sehingga ini mengancam partisipasi masyarakat terhadap kelembagaan DPR," kata Veri.

Para pemohon berpendapat ketentuan Pasal 73 ayat (3) telah menjadi jembatan untuk memberikan ancaman, memberangus rasa aman, kebebasan berpikir masyarakat.

"Seharusnya kelembagaan DPR mewakili kepentingan masyarakat dalam kaitannya dengan hubungannya dengan eksekutif agar kekuasaan eksekutif dapat bekerja baik untuk masyarakat, bukan malah tampil sebagai sebuah lembaga yang otoriter dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum di dalamnya," kata Veri.

Para pemohon dalam petitumnya meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 73 ayat (3), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (3) UU MD3 mengandung cacat formil di dalam proses pembentukannya, dan secara materiil bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Baca juga:
Buruh gugat UU MD3 di MK
UU MD3 kembali digugat

 

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018