Bogor, (ANTARA News) - Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Indonesia,Abdillah Ahsan menilai kenaikan cukai rokok efektif mengurangi konsumsi rokok.

"Cukai itu untuk mengendalikan konsumsi," kata Abdillah dalam workshop jurnalis "Dampak Buruk Cukai Rokok Rendah Terhadap Kesehatan Publik dan Keuangan Negara di Indonesia" yang diselenggarakan AJI Jakarta di Kota Bogor, Minggu.

Menurut Abdillah, posisi negara terhadap tembakau sangat jelas bahwa negara harus melindungi masyarakat dari terkapan kapitalis industri rokok.

"Negara tidak boleh berselingkuh dengan bisnis rokok dalam menerkam masyarakat," kata dia.

Oktober tahun lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyetujui kenaikan tarif cukai terbesar berada pada golongan sigaret putih mesin pada kisaran 12 -22 persen. Tapi angka ini masih jauh di bawah rekomendasi WHO yang mengamanatkan kenaikan cukai sampai 75 persen.

Menurut Abdillah kenaikan cukai Indonesia idealnya 50 persen. Dana dari cukai rokok dapat digunakan pemerintah untuk program-program pemberdayaan petani tembakau atau membiayai kesehatan masyarakat.

Baca juga: Ini "ongkos" ekonomi konsumsi rokok di Indonesia

Belajar dari Filiphina dan Thailand yang menaikkan cukai rokoknya lebih tinggi dari rekomendasi  WHO, kedua negar aini bisa mengelola dana tersebut untuk kesejahteraan masyarakat melalui jaminan kesehatan.

"Menaikkan cukai rokok, penerimaan negara akan cukup meningkat. Rokok harus diberi cukai karena rokok menimbulkan kencanduan. Fungsi dari cukai adalah untuk membenani para perokok agar berhenti merokok," kata Abdillah.

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi UI Teguh Dartanto memiliki kajian tentang bagaimana rokok menjerat masyarakat untuk konsisten dalam kemiskinannya. "Rokok membuat orang miskin, konsisten miskin," katanya.

Sementara,Julius Ibrani dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengungkap tentang intervensi industri rokok terhadap kebijakan pengendalian tembakau.

"Ada aspek hukum dan HAM dalam industri tembakau. Regulasi tentang rokok di Indonesia punya sejarah panjang, salah satunya hilangnya pasal tentang zat adiktif dalam undang-undang tembakau," kata Julian.

Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2018