Jakarta (ANTARA News) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengkaji dan menerapkan teknologi Katalytisch Drucklose Verlung (KDV) dari Jerman untuk mengubah batubara ke bentuk cair guna mengefiensikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang digunakan untuk Jawa-Bali.

"BPPT kebetulan ada kerja sama dengan Jerman untuk pengembangan batubara cair sebagai substitusi minyak bumi. Tapi kita perlu mengidentifikasikannya dulu di laboratorium balai, itu akan jadi kerja sama awal dengan PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB)," kata Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Industri Energi dan Material (TIEM BPPT) Eniya Listiani Dewi di Jakarta, Jumat.

Teknologi pencairan batubara yang digunakan kali ini, menurut Eniya, akan berbeda dari yang sudah diketahui sebelumnya, karena dalam proses mengubah batubara ke bentuk cair tidak lagi mereaksikannya dengan hidrogen pada temperatur dan tekanan tinggi.

Eniya menyebut proses reaksinya hanya dilakukan pada temperatur sekitar 200 derajat Celsius, dan itu termasuk rendah. Prosesnya dapat dilakukan dengan mencampur batubara, yang justru berperan sebagai katalis, dengan biomassa ataupun tidak untuk proses merubahnya menjadi cair.

Lebih lanjut ia mengatakan batubara sebagai katalis bahkan dengan kadar kalori 2800 Kkal bisa digunakan, dan hanya membutuhkan sekitar 10 persen saja dari keseluruhan bahan baku dalam proses pencairan tersebut.

Biodiesel yang dihasilkan dari proses ini, menurut dia, akan ada dikisaran harga Rp3000 hingga Rp3500 per liter.

Limbah dari proses tersebut berupa aspal yang, menurut Eniya, juga masih bisa dimanfaatkan lagi menjadi bahan bakar.

"Kita kaji lebih lanjut lagi ini semua, dicari biomassa yang pas untuk digunakan di Indonesia sampai hasilnya bisa efisien menggantikan minyak bumi".

Yang menjadi masalah dalam penyediaan listrik Jawa-Bali adalah perlunya meningkatkan kemampuan pembangkit untuk memproses batubara dengan kalori rendah, atau alternatif lain dengan menggunakan bahan bakar bentuk cair. Teknologi KDV ini yang, menurut dia, bisa diterapkan namun harus melalui kajian BPPT terlebih dulu.

Sementara itu,konsultan EQ Tec Energy Indonesia Claus Nielsen menyebut tekanan rendah digunakan dan menyalin proses yang dilakukan bumi selama 1,7 juta tahun untuk mengendapkan minyak ke dasar dan itu dilakukan dalam tiga menit.

"Kami hanya menggunakan tiga kilogram biomassa untuk menghasilkan satu liter biodiesel. Sedangkan jika menggunakan batubara hanya 2,4 kilogram untuk menjadi 1 liter biodiesel," kata Nielsen.

Semua jenis biomassa dengan kelembapan 10 persen, menurut dia, dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi biodiesel ini. Namun pada dasarnya semua dengan dasar hidrokarbon mulai dari plastik, biomassa, sampah, pohon atau kayu.

"Artinya bisa menyetop membakar dan menghasilkan residu di Indonesia dan menghasilkan listrik. Dengan produk sampingan aspal yang merupakan residu dari bahan organik yang diproses," ujar dia.

Kepala BPPT Unggul Priyanto mengatakan mengubah batubara dari bentuk padat ke cair sebenarnya merupakan teknologi lama. Namun proses menggunakan tekanan rendah merupakan hal baru.

Komponen biaya terbesar untuk operasional sebuah pembangkit listrik, ia mengatakan memang bahan bakar, sehingga jika harga bisa dikurangi tentu akan sangat membantu untuk berhemat. Sejauh ini batubara memang masih menjadi sumber energi termurah, kecuali Indonesia berani beralih ke pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

Karena itu teknologi KDV ini bisa dicoba digunakan, dan BPPT, katanya siap mendukung penuh PT Pembangkitan Jawa-Bali untuk melakukan kajian dan penerapan teknologi yang tepat untuk mengefisiensikan PLTU di Indonesia maupun pembangkit listrik lainnya guna menghasilkan 14.000 MW.

Pewarta: Virna Puspa S
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018