Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan warga yang merasa keberatan dengan revisi Undang-Undang No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dapat mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

"Cara menyanggah ke MK. Ingat saat saya keluar paripurna, dari pada kita capai-capai, lebih baik kita gugat ke MK. Kita mempunyai mekanisme check and balances, kewenangan DPR dan pemerintah dicek MK, rakyat punya kesempatan menguji konsitusionalitas ayat-ayat di MD3, kita dorong rakyat kita uji ke MK," kata Yasonna di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Selasa.

DPR sudah menyepakati perubahan kedua UU MD3 dalam rapat paripurna DPR pada Senin (12/2).

Ada beberapa pasal dalam UU MD3 yang menjadi sorotan publik, termasuk Pasal 245 yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Selanjutnya ada Pasal 122, yang menyatakan bahwa DPR memberikan kewenangan kepada MKD untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR; dan Pasal 73, DPR memiliki kewenangan memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara paksa dengan ancaman sandera.

Presiden, menurut Yasonna, belum menandatangani dan kemungkinan tidak akan menandatangani pengesahan revisi UU MD3.

"Beliau saya jelaskan, Beliau mengatakan kok sampai begini, jadi heboh di masyarakat, saya pertimbangkan ini menimbulkan perdebatan yang sangat luas di masyarakat, tapi kan Beliau butuh latar belakang bagaimana kita membahas UU ini, bagaimana time limit yang ada pada waktu itu. Saya jelaskan juga yang kita capai sudah buang 2/3 usulan teman-teman DPR, ini trade off-nya (pertukarannya)," jelas Yasonna.

"Bukan kecolongan, tentu saya harus menyampaikan penjelasan ke Bapak Presiden kok sampai lama begini, dan kita juga dalam hal ini ada kecenderungan menarik ketentuan sangat liberal, janganlah. Tetap harus ada koridor yang harus kita jaga. Bahwa teman-teman DPR perlu perlindungan dalam melaksanakan hak konstitusionalnya, tidak usah terlalu hebohlah, uji saja di MK," kata Yasonna.

Terkait dengan Pasal 245 yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Yasonna mengatakan bahwa persetujuan tidak diperlukan untuk sejumlah tindak pidana khusus.

"Jadi supaya jelas untuk yang OTT, untuk yang kejahatan diancam hukuman mati dan seumur hidup seperti pembunuhan dll, untuk yang pidana khusus, korupsi, teroris, narkoba, makar itu tidak perlu izin presiden. Itu saya ngotot di situ, jangan sampai urusan-urusan seperti itu, itu tidak perlu izin Presiden. Tapi kalau dalam hal seorang angggota DPR melakukan tugas konsitusional, direndahkan martabatnya atau disangkakan melakukan tindak pidana dalam melakukan tugas konsitusionalnya itu harus ada," tambah Yasonna.

Baca juga: DPR setuju RUU MD3 jadi undang-undang


Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018