Masih perlukah konsep swasembada, entah beras entah komoditas pangan lainnya, dipertahankan di era ketika dunia kian terspesialisasi tapi tanpa ruang yang terspesialisasi?

Ada jeruk mandarin yang ditanam di Pakistan, apel washington yang oleh Israel diekspor ke mana-mana, dan durian bangkok yang ditanam di Bogor serta pisang cavendish yang diproduksi secara massal di Lampung.

Pekan-pekan belakangan ini, harga beras di pasar dalam negeri merangkak naik dan pemerintah perlu bertindak cepat. Beras tak boleh langka.

Sebab salah satu bahan kebutuhan pokok paling strategis di Tanah Air adalah beras. Pengelolaan ketersediaan beras dan harganya yang stabil akan menjadi salah satu kebijakan pemerintah yang terpenting.

Pemerintah dari masa ke masa selalu memperhatikan secara serius ketersediaan beras dan kestabilan harganya. Sesungguhnya semangat untuk melakukan diversifikasi atau penganekaragaman makanan pokok sudah diupayakan sejak era pemerintahan Presiden Soeharto.

Namun upaya diversifikasi pangan itu tak mencapai target. Bahkan daerah-daerah yang semula mengonsumsi jagung atau sagu sebagai makanan pokok tradisional malah beralih ke beras sebagai bahan pangan pokok.

Kini mau tak mau pemerintah dipaksa untuk membuat kebijakan tentang perberasan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi kekinian. Artinya, kebijakan beras perlu dibuat secara periodik, sewaktu-waktu direvisi berdasarkan kondisi lapangan terkini.

Hasrat pemerintah untuk berswasembada pangan boleh jadi merupakan kebijakan jangka panjang namun ketika kebijakan itu belum sanggup diaktualkan, kebijakan untuk mengimpor beras pun tak bisa dielakkan.

Pada titik ini tak mustahil akan terjadi semacam perselisihan data antara Kementerian Pertanian yang mendaku bahwa produksi beras sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan Kementerian Perdagangan yang mengklaim bahwa harga beras di pasar cenderung naik karena ada potensi kelangkaan beras.

Ternyata, fakta di lapangan memang memperlihatkan kurangnya pasokan beras di sejumlah daerah sehingga mau tak mau upaya mendatangkan beras dari luar negeri pun tak bisa dihindari.

Namun, petani padi di Tanah Air memang perlu dilindungi dengan tidak membiarkan keran impor beras terus mengucur kebablasan sehingga ketika panen raya padi tiba, produksi beras dalam negeri tak terserap sepenuhnya ke pasaran.

Belakangan ini kecenderungan harga beras merangkak naik sudah terasakan di sejumlah daerah. Kementerian Perdagangan pun membuka keran impor. Direncanakan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik mengimpor sebanyak 500 ribu ton beras sebelum Maret, saat panen raya padi dalam negeri terjadi.

Dalam situasi saat ini ketika bencana alam sering terjadi, prediksi produksi padi memang semakin kurang tingkat akurasinya. Petani sering gagal panen karena bencana banjir yang melanda di banyak daerah. Target swasembada beras menjadi jauh dari realisasi.

Sesungguhnya, di era pergerakan barang dan jasa dengan cepat ke dalam tingkatan global, kebijakan swasembada komoditas apa pun agaknya perlu dikaji kembali. Sebab, tiap-tiap negara akan memproduksi komoditas pangan yang paling ekonomis dan bukan semata-mata karena gengsi politis.

Ketika dalam hitungan paling ekonomis untuk Indonesia adalah memproduksi 50 persen kebutuhan beras dan 50 persen sisanya dengan mengimpor, kebijakan itulah yang paling pas untuk ditempuh. Lahan-lahan yang cocok untuk produksi nonpadi sebaiknya dimanfaatkan untuk tanaman yang paling memberikan keuntungan ekonomis paling tinggi.

Dengan demikian, yang disasar tak perlu lagi predikat Indonesia berswasembada beras pada tahun sekian, tapi kemakmuran rakyat yang meningkat dan penurunan kemiskinan yang nyata sekalipun tanpa diembel-embeli sukses swasembada beras.

Pada kenyataannya, swasembada beras 100 persen boleh dibilang mustahil. Selalu ada segmen masyarakat yang memburu beras kualitas istimewa, misalnya produksi Jepang. Di sinilah importir beras Jepang di pasar domestik muncul. Begitu juga dengan daging. Sekali pun misalnya kelak Indonesia bisa berswasembada daging, selalu ada importir daging dari Australia di Tanah Air karena keistimewaan daging sapi Australia bagi konsumen tertentu.

Negeri-negeri maju pun tak menjadikan program swasembada komoditas sebagai bagian dari kebijakan politik strategis mereka. Kebutuhan atau permintaan pasar dalam negeri membuat sebuah negara maju pun tak menerapkan swasembada.

Pantas direnungkan kembali tentang perlunya memburu predikat swasembada beras bagi Indonesia yang pernah dilontarkan beberapa waktu lalu, baik oleh Presiden Joko Widodo maupun pendahulu-pendahulunya. Di era Presiden Soeharto, dunia internasional memang sempat mengakui prestasi Indonesia yang berhasil berswasembada beras.

Namun apa makna prestasi itu jika tingkat kesejahteraan warganya masih rendah. Singapura, Hong Kong, misalnya, tak berswasembada komoditas pangan, namun warganya jauh lebih makmur.

Secara esensial, yang dibutuhkan oleh pemerintah dan rakyat adalah tingkat kesejahteraan warga yang terus-menerus meningkat. Bagi generasi milenial, makan juga tidak harus berupa nasi, tapi bisa pangan yang bahan bakunya bisa jagung bisa gandum atau kentang. Itu sebabnya, swasembada beras semakin tidak relevan. Konon ada kekhawatiran bahwa jika ketergantungan terhadap komoditas ekspor terlalu tinggi, suatu ketika jika terjadi gejolak harga dunia terhadap komoditas bersangkutan akan merepotkan warga di dalam negeri karena harga komoditas itu yang melangit.

Pilihannya memang bukan terlalu bergantung pada komoditas impor. Tapi ada keberimbangan antara produksi dalam negeri, yakni beras lokal, dan sebagian beras impor. Dengan kebijakan yang moderat ini, yakni kombinasi produk lokal dan impor, pemerintah bisa menjaga kepentingan konsumen dan petani sebagai produsen beras.

Jadi semangat swasembada tampaknya perlu dikaji ulang untuk kepentingan usaha memakmurkan warga secara esensial dan holistik.

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018