Jakarta (ANTARA News) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menetapkan upah layak jurnalis pemula di Jakarta pada 2018 sebesar Rp7.963.949/bulan, lebih tinggi daripada upah layak pada 2016, yaitu Rp7.540.000 sebulan.

Itu baru upah jurnalis pemula alias pengalaman kerja nol tahun hingga beberapa tahun saja. Bagaimana dengan jurnalis yang telah bekerja puluhan tahun dan sarat pengalaman kerja dan medan penugasan? 

Atau yang telah menjadi editor sebagai jabatan fungsional tertinggi di ranah keredaksian dan multi keahlian? Tentu seharusnya jauh lebih tinggi lagi walau studi mendalam tentang ini jarang diungkap. Penghargaan layak dari perusahaan pers dan manajemen pers akan hal ini masih menjadi pekerjaan besar di Indonesia.

"Besaran upah layak itu diperoleh dari hasil survei sejumlah kebutuhan jurnalis di Jakarta. Jurnalis memiliki keperluan tersendiri agar mampu secara profesional," kata Koordinator Survei Upah Layak AJI Jakarta, Hayati Nupus, di Jakarta, Minggu.

AJI Jakarta menghitung besaran upah layak berdasarkan 37 komponen dari lima kategori, yaitu pangan, tempat tinggal, sandang, dan kebutuhan lain seperti pulsa, internet, dan cicilan laptop atau telefon genggam cerdas sebagai alat kerja.

Selain itu, jurnalis juga memiliki kebutuhan khas untuk meningkatkan kapasitasnya seperti berlangganan koran dan berbelanja buku.

"Kami menekankan pentingnya kesejahteraan jurnalis. Ketika jurnalis sejahtera, maka akan tercipta produk jurnalistik bermutu yang mendidik dan mencerdaskan kehidupan publik, termasuk fungsi kontrol sosial media bisa berjalan lebih baik," tuturnya.

AJI Jakarta menyatakan jurnalis yang memperoleh upah secara layak bisa bekerja profesional dan tidak tergoda menerima amplop yang bisa merusak independensi jurnalis dan media.

Upah layak akan meningkatkan mutu produk jurnalisme. Upah kecil kerap menjadi pemicu jurnalis menerima sogokan dari narasumber.

"Itu berbahaya bagi masa depan jurnalisme dan masa depan demokrasi di Indonesia karena berita yang dihasilkan dari 'jurnalisme amplop' berpotensi menjadi racun bagi kebebasan pers," kata Ketua Aji Jakarta Ahmad Nurhasim. 

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018