Jakarta (ANTARA News) - "That's my destiny, Alhamdulillah saya masuk kepolisian," kata AKBP Muhammad Nuh Al-Azhar Kasubbid Komputer Forensik Puslabfor Mabes Polri, salah satu ahli digital forensik dalam persidangan perkara tewasnya Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso.

Nuh tampil pada persidangan tersebut pada Rabu (10/8) untuk mengungkap dugaan kejanggalan pada gerak-gerik Jessica melalui rekaman CCTV dari Kafe Olivier. Nuh juga sempat hadir pada persidangan ke-21, Kamis (15/9), saat ahli digital forensik dari pihak terdakwa Rismon Hasiholan Sianipar memberikan pendapatnya.

Sambil membereskan ruang kerjanya, Nuh menceritakan perjalanan pendidikan dan karirnya dalam merintis digital forensik di kepolisian.

Pria kelahiran Palembang 8 Juli 1974 merupakan lulusan teknik mesin Universitas Sriwijaya Palembang angkatan masuk 1991. Kendati studi utamanya adalah mesin, Nuh memiliki kegemaran programing dan hacking yang membuatnya banyak belajar secara otodidak dengan buku sebagai jendela ilmu.

"Saya dapat mata kuliah programing tapi kurang begitu happy karena kaku. Saya kemudian belajar bahasa programing basic secara otodidak, tapi tidak happy juga karena tidak mendapatkan yang saya mau," kata Nuh di ruang kerjanya. "Kemudian saya pindah lagi, belajar bahasa program Turbo Pascal secara otodidak."

Melalui pemrograman Turbo Pascal, Nuh mengakui mendapat banyak manfaat terutama untuk mengerjakan tugas-tugas mekanikal data kompleks yang umumnya dikerjakan hingga berhari-hari.

"Saya punya passion komputer jadi mudah memahami. Dalam bahasa programing Turbo Pascal kita tinggal masukkan database tabulasi, formula dan input nilai kemudian keluar hasilnya, tidak perlu berhari-hari," katanya.

Nuh pun lulus dari Universitas Sriwijaya dengan gelar sarjana teknik mesin pada 1996 dan mengikuti Akademi Kepolisian pada 1997.


Awal Karir

Pada kasus Jessica, Nuh adalah ahli yang menganalisa rekaman CCTV dari Kafe Olivier. Namun awal karir Nuh di kepolisian bukan untuk menganisa data atau pemrograman komputer, melainkan sebagai "fire investigator" yang bertugas memeriksa tempat kejadian perkara (TKP) untuk kasus kebakaran.  

"Pada 1998 saya masuk ke Puslabfor sebagai fire investigator karena menyandang sarjana teknik mesin. Tugasnya mencari kemungkinan adanya peralatan mekanik yang menjadi sebab kebakaran," ujarnya.

Sambil bekerja, Nuh tidak melupakan kesenangannya untuk bermain kode-kode program. Menurut dia, "karena memang hobi programing dan hacking itu membuat hidup lebih berwarna dan menyenangkan."

Kesukaan pada programing akhirnya mendorong Nuh mendalami digital forensik. Alasannya bukan hanya untuk hobi, melainkan perkembangan dunia teknologi yang semakin pesat sehingga kejahatan pun kerap melibatkan barang bukti berupa alat digital.

"Jika kami sebagai polisi tidak siap, lantas siapa yang mengurus barang bukti (digital)?" cetusnya.

Nuh menjelaskan pada periode awal tahun 2000, ilmu yang dibutuhkan guna menganalisa barang bukti digital adalah komputer forensik, karena dalam banyak kasus barang bukti yang dianalisa adalah berupa komputer PC, bukan telepon seluler, laptop dan jaringan karena masih jarang di Indonesia.

Namun upaya Nuh mendalami digital forensik terkendala dengan tidak adanya pengajar ilmu itu di Indonesia. "Salah satu kesulitan terbesar saya waktu itu adalah mencari guru," katanya.

Nuh harus berburu buku-buku digital forensik untuk mendapatkan pengetahuan.  "Saya sulit memahaminya kala itu, maklum karena tak ada guru. Saya baca beberapa lembar, saya ulangi lagi, supaya paham esensinya," kata Nuh.

"Saya hunting buku dari dalam hingga ke luar negeri. Tidak punya rekomendasi, apa yang ketemu itulah yang saya baca, yang penting ada kata kunci 'digital forensik, komputer forensik, IT forensik'," katanya kemudian tersenyum.

Dari proses otodidak itu Nuh sudah dapat memahami tiga hal paling mendasar dalam digital forensik antara lain hashing, protect dan forensic imaging.

"Karena tiga hal itu yang dipakai ahli digital forensik saat menghadapi barang bukti," ucapnya.


Bersertifikasi Profesional


Ilmu yang didapat dari buku ternyata belum cukup, dengan dukungan Bareskrim Polri, Nuh diizinkan mengikuti program sertifikasi profesional Computer Hacking Forensic Investigator (CHFI) di New Delhi, India, pada 2007.

"Saya berangkat ke New Delhi, lulus dengan nilai 88 dari passing grade 70, saya sangat happy waktu itu," kata dia.

Nuh menilai sertifikasi profesional sangat dibutuhkan dalam dunia digital forensik karena akan berhubungan dengan formalitas hukum, terutama saat tampil sebagai ahli dalam persidangan.

"Sertifikat ini merupakan surat formal yang membuktikan bahwa saya adalah ahli resmi penganalisis digital forensik," kata dia. "Sekaligus menjawab kecemasan saat hadir sebagai ahli dalam persidangan, saya ahli yang bersertifikasi resmi."


Universitas Strathclyde

Nuh sadar diri, latar belakang sarjana teknik mesin dan sertifikat digital forensik juga belum cukup untuk menjadikannya mumpuni di bidang ini. Ia pun berburu beasiswa, "beasiswa apapun, yang penting beasiswa", kata dia.

Pada jumat petang di bulan Ramadhan tahun 2008, Nuh mem-browsing internet sambil menunggu istrinya pulang kuliah kelas ekstensi. Nuh menemukan kata "British Chevening Scholarship" di baris pertama daftar pencarian dengan keterangan "masih dibuka."

"Masalahnya waktu itu sudah Jumat, dan close date-nya Minggu malam Senin pukul 00.00. Mepet sekali ini," cerita Nuh.

Namun ia tetap mengunduh formulir aplikasi pendaftaran sebanyak empat lembar, mengisinya dan mengirimkannya pada Minggu malam Senin, atau menjelang batas akhir penerimaan.

"Setelah ibadah Tarawih, saya lanjutkan menulis formulir sebisa saya, Alhamdullillah diterima, Alhamdulliah lulus," ucap Nuh.

Nuh kemudian dihadapkan dengan opsi empat universitas dari Britih Council di Indonesia dan menjatuhkan pilihannya ke Universitas Strathclyde karena dianggap paling mumpuni soal Ilmu Forensik.

"Begitu tiba di Strathclyde, saya happy, saya menemukan dimensi baru," kata Nuh. Dimensi baru yang dimaksud Nuh adalah penggunaan Linux Forensic, sebelumnya ia terbiasa menggunakan tool Windows Forensic.

"Awalnya saya jengkel, akhirnya menikmati. Sampai sekarang saya masih menggunakan Linux. Linux Forensic punya kelebihan data recovery dan cepat untuk digali," katanya.

Nuh akhirnya lulus pada 2009 dengan disertasi Steganography Forensic Analysis. Ia menjadi orang Indonesia pertama yang menyandang gelar Masters Degree digital forensik dari universitas Inggris.


Nyaris Bekerja di Inggris


Nuh mengaku sempat tergoda untuk menanggalkan seragam kepolisian demi berkarir sebagai analis digital forensik di Inggris. Namun hal itu tidak dilakukannya lantaran ingin membangun digital forensik di Kepolisian Indonesia.

"Terus terang, ketika saya baru tamat dari Universitas Strathclyde, saya ingin bekerja di Inggris karena bayaran sebagai digital forensik analis di perusahaan di sana dalam satu tahun di bayar Rp2 miliyar," katanya.

"Big money and halal," lanjut dia. "Sekarang rata-rata Rp600juta sampai Rp3milyar bayaran di sana dalam satu tahun."

Namun uang bukanlah tujuan utama Nuh saat mendalami digital forensik, melainkan keilmuan yang ingin ia terapkan di Indonesia.

"Jelas itu sangat menggiurkan, tapi saya putuskan pulang ke Jakarta untuk mengembangkan digital forensik," ungkapnya.

"Bahagia itu tidak identik dengan uang, kalau semua harus diukur dengan uang maka lama-lama akan rakus uang," katanya.


Menerapkan di Puslabfor


Nuh kembali ke Indonesia dan mulai menerapkan ilmu forensik dari Strathclyde ke Divisi Komputer Forensik Puslabfor Mabes Polri. Dengan dukungan dari Bareskrim maka mulailah dibangun laboratorium komputer forensik dengan "cita rasa Indonesia."

Hal utama yang dibawa dari Inggris adalah penerapan metodelogi digital forensik. Menurut, digital forensik bukan cuma bicara hardware-software, namun terkait erat dengan standar operasional prosedur (SOP) sebelum melakukan forensic imaging guna mendapatkan image file yang identik dengan barang bukti.

SOP itu terus dikembangkan, saat ini Puslabfor Digital Forensik Mabes Polri menerapkan 16 bentuk SOP sehingga menjadi laboratorium yang lengkap. "Ibarat penelitian, metodeloginya harus kuat, makanya metode selalu dibahas dalam satu bab sendiri dalam tiap penelitian," kata dia.

Nuh menjelaskan empat pilar dalam penerapan digital forensik antara lain sumber daya manusia yang kuat dan bersertifikasi, standar operasional yang mantap, hardware-software tervalidasi, dan laboratorium yang terstandarisasi.


Tantangan Digital Forensik

Trending topik pesatnya kemajuan tekologi informasi salah satunya adalah digital forensik, sehingga kepolisian Indonesia perlu mempersiapkan ahli-ahli digital forensik untuk menghadapi itu.

Nuh mengungkapkan berdasarkan data 2015, tercatat 149 kasus berkaitan dengan digital forensik atau tiga kali lipat dari jumlah minggu dalam satu tahun. Artinya, dalam satu minggu ada tiga berita acara pemeriksaan yang dirilis kepolisian.

Total barang bukti sebanyak 882 unit atau hampir tiga kali lipat jumlah hari dalam setahun. Artinya dalam sehari penyisik digital forensi harus menyelesaikan tiga barang bukti.

"Saking sibuknya di 2015, saya bersama tim tidak sempat ambil cuti. Jadi begitu awal 2016 kami semua bersedih tidak bisa cuti," kata Nuh.

Untuk itu, berkaca dari data tahun 2015, tantangan ke depan digital forensik tidak hanya mengurus kejahatan siber, melainkan hampir semua kasus pidana yang memiliki barang bukti elektronik.

"Jualan narkotika menggunakan gadget untuk menghubungkan bandar ke pengedar, kasus korupsi terdapat data file komputer, penyadapan ada rekaman suara, pembunuhan dan pencurian pakai CCTV," katanya.

Digital forensik kini dituntut tidak hanya fokus pada kejahatan siber, tapi kejahatan konvensional.

Kendati tidak menyebutkan angka, Nuh mengatakan, narkotika menyumbang persentasi terbesar kasus yang melibatkan digital forensik.

"Tidak sampai 50 persen, tapi salah satu yang terbesar adalah narkotik. Itu wajar karena pembeli dan penjual saling berkomunikasi untuk mengendalikan," cetusnya.


Ambisi Tulis Buku Kedua


Nuh kini punya ambisi lain setelah berstatus ahli forensik Puslabfor Mabes Polri dan kerap menjadi pengajar dan pembicara dalam kegiatan akademik.

Pria yang menjadikan dua buku sebagai pedoman antara lain "File System Forensic Analysis" oleh Brian Carrier dan "Digital Forensics and Investigation" oleh Eoghan Casey itu berhasrat menerbitkan buku keduanya pada akhir 2016.

Sebelumnya ia sudah menulis "Digital Forensic – Panduan Praktis Investigasi Komputer" pada tahun 2012 yang diklaim sebagai buku pertama di Indonesia yang mengupas teknis digital forensik.

"Saat ini saya buat buku kedua, masih proses tapi saya harap tahun ini selesai, ada dua penerbit yang sudah menanti, semoga selesai akhir 2016. Doakan ya!"

Oleh Alviansyah Pasaribu
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016