Kupang (ANTARA News) - Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Timur bersama WWF Indonesia menggelar sosialisasi rencana aksi nasional serta sinergitas dalam upaya pengelolaan hiu di wilayah perairan Nusa Tenggara Timur, sekaligus menjaga keberlangsungan populasi hewan laut tersebut.

Ketua Panitia Sosialisasi Donny M Bessie di Kupang, Kamis, mengatakan untuk memastikan adanya pengelolaan terhadap keberlangsungan populasi hiu tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyusun rencana aksi nasional untuk periode 2016-2010.

Rencana aksi nasional tersebut untuk menyiapkan regulasi tentang pengelolaan hiu dan pari, serta mengimplementasi ketentuan internasional, peningkatan akurasi data hasil tangkap Hiu.

Selain itu, perlindungan/pengaturan pemanfatan ikan tertentu yang rawan terancam punah, penguatan upaya penelitian ikan hiu, dan peningkatan pemahaman stakeholder (dalam pengelolaan Hiu).

"Kegiatan yang diikuti 30 orang itu juga bermaksud memberi pemahaman mengenai rencana aksi nasional Hiu yang telah dipublikasikan sehingga dapat diterapkan tidak hanya di tingkat nasional, namun juga di tingkat daerah," katanya.

Jadi selain mengidentifikasi gap yang terjadi dalam pengelolaan hiu di daerah dari berbagai aspek seperti pengelolaan habitat penting, sosial budaya, perdagangan, kebijakan dan kelembagaan.

Sinergitas pengelolaan hiu ini diharapkan dapat memperjelas pembagian peran antarlembaga dalam mendukung pengelolaan hiu yang berkelanjutan.

Sementara itu Kepala Unit Pelayan Teknis (UPT) Laboratorium Pengujian dan Pengawasan Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) NTT Januario da Luz mengatakan keterbatasan ketersediaan sumberdaya di daratan akan mendorong semakin banyaknya penduduk yang berusaha di pesisir dan laut pada masa yang akan datang.

"Ekosistem pesisir yang terdapat di sekitar pulau-pulau tersebut telah memberikan manfaat secara fisik sebagai pelindung pulau-pulau dari bahaya abrasi, gelombang, badai dan tsunami," katanya.

Di samping itu keberadaan ekosistem pesisir serta sumberdaya hayati yang terkandung di dalamnya telah pula memberikan keuntungan secara ekonomi bagi penduduk yang mendiami pulau-pulau tersebut, katanya.

Sebagai negara mega biodiversity, katanya, Indonesia sudah selayaknya menjaga keanekaragaman flora, fauna dan mikroba yang ada di dalamnya.

"Salah satu yang harus dijaga, adalah keberadaan spesies hiu dan pari yang jumlahnya terus menyusut di dunia dan khususnya di Indonesia," katanya.

Menurut dia, di dunia saat ini terdapat 5-30 juta spesie flora, fauna dan mikroba. Dari jumlah tersebut, 1,7 juta diketahui berada di Indonesia.

"Namun di Indonesia, dari jumlah tersebut baru 300 ribu spesies yang sudah bernama. Selebihnya, ya belum memiliki nama. Termasuk, seperti Hiu dan Pari yang sudah bernama," katanya.

Dengan jumlah sebanyak itu, katanya, Indonesia memiliki kewajiban untuk terus menjaganya dengan baik, karena itu menjadi bagian dari kekayaan hayati dunia. Kewajiban tersebut juga sesuai dengan Konvensi Rio de Janeiro 1992 yang membahas tentang kenakeragaman hayati dunia.

"Indonesia salah satu anggota dan berkomitmen untuk ikut terlibat. Makanya, Indonesia kemudian meratifikasinya melalui Undang-Undang No 5 Tahun 1994," jelas dia.

Dari 300 ribu spesies yang ada di Indonesia, ada 118 spesies hiu dan 101 jenis spesies pari. "Jumlah tersebut menjadi bagian dari 500 spesies hiu dan pari dunia. Dengan jumlah tersebut, pemanfaatan hiu dan pari dari hari ke hari semakin tinggi," katanya.

"Dan itu bisa mengancam populasi spesies tersebut. Kalau tidak diatur maka akan semakin terancam lagi. Apalagi di Indoensia produksinya per tahun bisa mencapai 100 ribu ton hiu dan pari. Kita jadi negara produsen terbesar di dunia," katanya.

Pewarta: Hironimus Bifel
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016