Yogyakarta (ANTARA News) - Program perlindungan sosial semacam bantuan langsung tunai yang pernah dicanangkan pemerintah pada 2009 rawan kepentingan politik sehingga perlu dikritisi pada pemerintahan mendatang.

Hal itu mengemuka dalam bedah buku berjudul "Perlindungan Sosial dan Klientelisme: Makna Politik Bantuan Tunai dalam Pemilihan Umum karya Mulyadi Sumarto di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Senin.

"Program bantuan langsung tunai (BLT) memiliki makna politik yang cukup besar bagi semua calon presiden dalam upaya meningkatkan perolehan suara dalam pemilu," kata penulis Mulyadi Sumarto.

Mulyadi yang juga peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengatakan program perlindungan sosial akan semakin memiliki muatan politis yang kental ketika telah diklaim sebagai program presiden atau partai penguasa tertentu.

Dalam buku yang ia tulis, Mulyadai menilai bahwa BLT yang dikucurkan pada 2009 oleh pemerintah rentan dimanfaatkan sebagai instrumen pemenangan pemilu. Pencanangan BLT tersebut juga rawan dimanipulasi dalam setiap pengelolaan administrasinya.

"Manipulasi tersebut mencakup jangka waktu distribusi BLT, jumlah penerima BLT, data yang dipakai untuk distribusi dan landasan hukum program BLT,"katanya.

Menurut dia, praktik penerapan BLT yang pernah dilakukan sebagai kompensasi kenaikan harga BBM pada 2009 tidak memiliki relevansi mendesak terhadap kebutuhan rakyat sebab saat kenaikan BBM dicanangkan pada waktu itu, tidak terdapat kesulitan ekonomi yang signifikan.

Sementara itu, peneliti dari Auastralian National Univerasity (ANU), Edward Aspinall dalam kesempatan itu mengatakan pada dasarnya pemerintah memiliki kewenangan untuk mencanangkan program perlindungan sosial seperti BLT dengan alasan kemanfaatan tertentu.

"Seperti kebijakan kompensasi pengangguran yang dicanangkan pemerintah Australia saat ini, intinya harus dapat dijelaskan siapa penerimanya, dan apa pertimbangannya dia mendapatkan bantuan itu," katanya.

Edward berpendapat bahwa BLT belum dapat serta merta dinilai sebagai praktik "klientelisme" atau pembelian suara.

Pembelian suara, menurut dia, apabila dalam penyerahan bantuan itu terjadi transaksi politik secara langsung.

Namun demikian, kata Edward, kebijakan itu patut dikritisi apabila menjelang atau bersamaan dengan momen politik tertentu.

"Kebijakan yang ditentukan seluruh rezim pemerintahan hampir semuanya memiliki pertimbangan politis, bukan hanya di Indonesia. Itu bukan fenomena baru," katanya.

(KR-LQH/N002)

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014