Jakarta, (ANTARA News) - Penyelesaian kasus pencemaran lingkungan PT Newmont Minahasa Raya (NMR), sebaiknya dilaksanakan secara proporsional agar tidak merusak kepercayaan investor asing akan iklim ivestasi di dalam negeri. "Terhadap perusak lingkungan memang harus ditindak, namun tindakan itu jangan sampai merusak kepercayaan investor akan iklim investasi dalam negeri," kata Solihin dari LSM Lembaga Pemerhati Investasi Indonesia (LPII) yang dihubungi di Jakarta, Senin (1/5) malam. Ia mengatakan penyelesaian kasus PT NMR harus proporsional dan bijaksana. Baku mutu lingkungannya harus diperjelas terlebih dahulu. Atau dengan kata lain, harus ditetapkan bakumutu lingkungan yang digunakan oleh pemerintah Indonesia. Disebutkannya, kasus perdata PT NMR telah disidangkan di PN Jakarta Selatan beberapa waktu lalu, dan telah dicapai "goodwill Agreement", yakni PT NMR memberikan kompensasi 30 juta dolar AS. Kompensasi atas kerusakan lingkungan itu diterima oleh Menko Kesra Aburizal Bakrie. Dana itu dipergunakan, di antaranya untuk perbaikan lingkungan Teluk Buyat maupun untuk perbaikan sosial- masyarakat di kawasan pantai tersebut. Menurutnya, jika PT NMR akhirnya tetap diputuskan untuk ditutup, termasuk mengadili secara pidana pimpinan PT NMR, Richard Bruce Ness, maka sebaiknya dilaksanakan secara proporsional dengan mempertimbangkan banyak aspek. "Karenanya, yang perlu dipertanyakan adalah mau dibawa ke arah mana penyelesaian kasus PT NMR. Kalau dikatakan merusak lingkungan dan dihukum pidana, maka harus ada bakumutu lingkungannya terlebih dahulu agar tidak muncul multi tafsir atas kerusakan lingkungan," katanya. Ia mengatakan tidak melakukan pemihakan dalam kasus Teluk Buyat, namun mengharapkan pemerintah mengambil tindakan proporsional yang tidak merusak kepercayaan investor asing terhadap iklim investasi dalam negeri. Mengenai kehadiran Meneg Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, dalam persidangan pencemaran lingkungan dengan terdakwa Direktur PT NMR, Richard Bruce Ness, di PN Manado, Jumat (21/4) lalu, ia mengatakan kehadiran Menteri itu sebenarnya sah saja. "Namun secara psikologis, kehadirannya tentu bisa berdampak terhadap jalannya persidangan," katanya. Menurut Meneg LH, Rachmat Witoelar, kehadirannya dipersidangan PT NMR bukan untuk mengintervensi hakim, hanya untuk menyaksikan persidangan saja. Disebutkannya juga bahwa "goodwill Agreement" yang dicapai PT NMR dengan Pemerintah Indonesia tidak akan mempengaruhi proses persidangan. Dalam persidangan itu, saksi ahli hukum pidana, Muladi, mengatakan bahwa UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan berlaku bagi siapa saja yang melakukan perusakan lingkungan, baik perorangan maupun korporasi. Kasus pencemaran lingkungan oleh PT NMR di Teluk Buyat muncul ke permukaan di tahun 2004 lalu ketika seorang bayi, Andini, meninggal yang diduga terserang penyakit Minamata. Penyakit itu diduga disebabkan pencemaran lingkungan oleh PT NMR. Tambang itu akhirnya ditutup, dan kasusnya kini diajukan ke pengadilan. (*)

Copyright © ANTARA 2006