Jakarta (ANTARA News) - Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara Poltak Sitorus mengancam akan memenjarakan terdakwa kasus penggelapan dalam jabatan, Kim Ho Yeon, warga negara Korea Selatan (Korsel), karena melakukan intimidasi kepada para pelapor.

"Kenapa anda ramai-ramai di sini usai sidang pekan lalu (melakukan intimidasi), jika diulangi bisa dipenjara anda," kata Poltak, saat sidang di Jakarta, Senin.

Kim Ho Yeon saat ini menjalani hukuman tahanan kota, walaupun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memvonisnya empat bulan penjara dalam kasus lainnya.

Ancaman ketua majelis hakim ini terkait dengan surat permohonan perlindungan hukum dari Kuasa Hukum pelapor, Jawalmen Girsang.

Dalam permohonannya ini, pelapor meminta terdakwa dipenjara karena telah mengancam dan menyampaikan kata-kata kotor dalam bahasa Korea terhadap saksi pelapor, Yoo Gi Nam, di ruang tunggu sidang.

Atas permohonan perlindungan hukum ini, Poltak menyatakan masih akan mempertimbangkan permintaan kuasa hukum pelapor tersebut. "Nanti kami akan pertimbangkan," katanya.

Dalam kasus kasus penggelapan dalam jabatan, Kim Ho Yeon yang pada saat menjadi direktur keuangan PT Agro Enerpia Indonesia (AEI) didakwa melakukan penggelapan uang perusahaan ratusan juta rupiah.

Perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan terdakwa terjadi sekitar tahun 2008 silam dengan mencairkan uang perusahaan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sehingga pemegang saham Yoo Gi Nam (saksi pelapor/korban) mengalami kerugian miliaran rupiah.

Atas perbuatan ini, WN Korea Selatan ini diancam dengan pidana dalam pasal 372 HUHP, sehingga terancam pidana penjara paling lama empat tahun.

Dalam lanjutan sidang pemeriksaan saksi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Trimo menghadirkan empat saksi, yakni komisaris utama AEI Eddy Ong, Presiden Direktur AEI Yo Gi Nam, karyawan AEI Suyanto dan kuasa Hukum Yo Gi Nam, Jawalmen Girsang.

Namun majelis hakim menolak Jawalmen Girsang sebagai saksi karena sebagai kuasa hukum pelapor. "Nanti saja jika diperlukan baru dapat dijadikan saksi," kata Poltak.

Dalam kesaksiannya, Eddy Ong mengatakan bahwa terdakwa telah melakukan penarikan dan penggunaan lima travel cek dan dua bilyet giro yang merupakan dana perusahaan AEI tanpa persetujuan direktur utama dan tanpa ada pertanggungjawaban mencapai Rp840,326 juta.

Eddy juga mengatakan bahwa uang perusahaan tersebut dipergunakan terdakwa bukan untuk kepentingan perusahaan, sehingga AEI telah dirugikan Rp840,236 juta.
(T.J008/R021)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011