Jakarta (ANTARA) - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman meminta aparat penegak hukum untuk mendalami dugaan penyimpangan izin tambang PT Batuah Energi Prima (BEP).

"Kami meminta dilakukan pendalaman oleh penegak hukum, baik KPK maupun Kejaksaan tanpa harus menunggu laporan masyarakat," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.

Dia menegaskan bahwa Izin Usaha Pertambangan–Operasional (IUP-OP) PT BEP layak untuk dicabut.

"Kalau tidak dicabut, nanti malah bisa ada dugaan potensi kerugian negara," ujarnya.

Adapun yang menjadi alasan, katanya, perusahaan ini  sudah tidak memenuhi syarat karena telah pailit. Bahkan, hasil tambangnya tidak diberikan kepada kurator untuk membereskan kepailitannya.

Baca juga: Bahlil minta waktu hingga Mei tuntaskan pencabutan izin tak produktif

“Artinya, negara kan bisa kena gugatan dari kreditur-kreditur yang punya tagihan kepada PT BEP,” ucapnya.

Sebelumnya, Kementerian ESDM RI dan Kementerian Investasi telah mencabut 2.078 perusahaan pertambangan minerba. Akan tetapi, untuk PT BEP, Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) justru diterbitkan.

“Padahal, perusahaan ini dalam keadaan pailit dan pemilik PT. BEP, yakni Herry Beng Koestanto masih meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Salemba,” tutur Boyamin.

Sementara itu, Pimpinan Komisi VII DPR RI Bambang Haryadi menyoal IUP OP PT BEP yang selama ini mendapat sorotan publik dan LSM karena diduga melaksanakan usaha pertambangan batu bara secara ilegal di Kalimantan Timur.

Baca juga: Pemerintah cabut 1.118 IUP tidak produktif

Bambang Haryadi mempertanyakan sikap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tidak memasukkan nama PT BEP ke dalam daftar 2.078 perusahaan pertambangan minerba yang dicabut izinnya. Dia menilai penyimpangan PT BEP jauh lebih berat ketimbang 2.078 perusahaan yang telah dicabut izinnya.

Menurut politikus Partai Gerindra itu terdapat beberapa alasan mendasar yang dapat dijadikan bahan pertimbangan Menteri ESDM untuk mencabut IUP-OP PT BEP yang pernah berstatus pailit.

Pertama, pada tahun 2012-2014, pemilik PT. BEP Herry Beng Koestanto, seorang narapidana berstatus residivis yang hingga kini masih meringkuk di LP Salemba, telah menyalahgunakan perizinan kedua IUP OP yang diberikan negara, memakainya sebagai sarana pidana penipuan sebesar Rp1 triliun, dan pembobolan lembaga perbankan sebesar Rp1,5 triliun. Kasus ini yang mengantarkan PT BEP divonis pailit.

Baca juga: Pemerintah terbitkan PP Perpajakan dan PNBP pertambangan batu bara

Alasan lainnya, kata Bambang, yakni berdasarkan data pada Sistem Monitoring Devisa Terintegrasi Seketika (SiMoDDIS) Bank Indonesia, PT BEP belum memenuhi kewajiban penerimaan DHE SDA sebesar 14,16 juta dolar Amerika Serikat, hasil penjualan batubara Januari-Februari 2022 oleh PT. Sumber Global Energy Tbk selaku pelaksana ekspor PT. BEP.

Adapun dasar hukum pencabutan perizinan pertambangan yang tidak berkegiatan telah diatur dalam pasal 119 Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dicabut oleh menteri jika perusahaan melanggar ketentuan sebagai berikut, yakni Pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUP serta ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit,” tuturnya.

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022