Jakarta (ANTARA) - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendorong pemerintah untuk mengubah pola penanganan pandemi COVID-19 melalui perspektif keadilan dengan menyeimbangkan aspek ekonomi dan kesehatan.

“Ketidakadilan (inequity) akses vaksin, masker, tes dan ketimpangan kapasitas lacak kasus membunuh banyak orang pada tahun 2021,” kata Direktur Eksekutif CISDI Gatot Suarman Ilyas dalam webinar Lokapala 3.0 bertajuk “Habis Gelap Terbitkah Terang?” yang diikuti di Jakarta, Kamis.

Gatot menuturkan untuk dapat hidup berdampingan dengan COVID-19, pandemi harus dapat berubah status menjadi endemi dengan mempertahankan jumlah kasus infeksi serendah mungkin, tanpa memicu terjadinya peningkatan angka kematian.

Namun setelah melakukan pengamatan, pihaknya memprediksi bahwa kemungkinan besar pandemi di Indonesia akan berada pada skenario Survival of the Fittest. Di mana keberhasilan mengendalikan COVID-19 akan terjadi dengan terbatas dan perlahan, namun menyisakan jurang ketimpangan yang cukup lebar.

Baca juga: LaporCOVID-19: Kepercayaan publik turun dampak penanganan buruk

Menurutnya, kasus baru bisa jadi merebak dalam kurun waktu tertentu di beberapa tempat dan endemi skala lokal akan terjadi di tempat dengan tingkat penularan tinggi.

Sebagai akibat kebijakan yang berpihak pada mereka yang telah punya kemampuan melindungi diri dari infeksi, sebagian kelompok populasi berhasil meneruskan hidup berdampingan dengan COVID-19.

Sementara, sebagian yang rentan dan membutuhkan keberpihakan kebijakan lebih besar, mungkin akan meninggal dunia atau terpaksa hidup dengan ancaman dan konsekuensi kesehatan, ekonomi, dan sosial.

Guna mencegah terjadinya ketimpangan yang terulang di tahun 2022, pihaknya memberikan tujuh rekomendasi yakni pemerintah perlu membenahi kerangka regulasi dan tata kelola dengan mengatasi tumpeng tindih regulasi, menguatkan koordinasi antar daerah dan membuka ruang keterlibatan unsur-non pemerintah agar kesalahan pemikiran tak lagi terulang.

Kedua, perlu menempatkan pengendalian COVID-19 ke mekanisme pelayanan dan pembiayaan yang tidak terpisah dari sistem kesehatan. Sebab, fasilitas seperti puskesmas menjadi garda terdepan dalam memberikan pelayanan kesehatan juga melakukan testing dan tracing.

 

Ia turut merekomendasikan pemerintah untuk menyediakan akses tes COVID-19 yang mudah dijangkau oleh masyarakat agar dapat cepat memutus rantai penularan berbagai varian baru serta mutasi yang akan muncul.

“Kemudian perkuat kapasitas produksi dan distribusi vaksin. Perjelas strategi pencapaian target vaksin hingga 70 hingga 80 persen dosis lengkap, percepat jangkauan vaksinasi pada masyarakat rentan dan siapkan tata kelola untuk penyediaan dosis ketiga secara gratis bagi seluruh masyarakat,” kata dia.

Pemerintah juga perlu menyediakan terapi oral untuk pasien COVID-19 dan menemukan kombinasi yang tepat dari intervensi berbasis kesehatan masyarakat. Mengingat kelelahan publik dan pelajaran dalam dua tahun terakhir, pemerintah bisa meningkatkan akses dan kepatuhan penggunaan masker standar respirator dengan menyediakan masker N95, FFP2 atau KN95 secara gratis.

Terakhir, berperan aktif sebagai negara yang percaya pada multilateralisme dan konsekuen mengadaptasi kesepakatan global dengan menyerukan negara berpegang pada posisi politis dan skenario pendanaan pandemi sesuai New International Treaty for Pandemic, yang dianggap relevan memutus rantai kesenjangan antara negara maju dan berkembang.

Gatot mengatakan bila Indonesia menjalankannya, skenario dapat berubah menjadi skenario terbaik yakni menang dari pandemi. Namun, pihaknya mengaku masih belum bisa melihat kemana arah keberpihakan pemerintah.

“Kami mempertanyakan satu hal, habis gelap terbitkah terang?,” kata dia.

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022