Itu yang membuat masyarakat gagal memahami risiko COVID-19 dan hancurnya kepercayaan publik terhadap penanganan pandemi.
Jakarta (ANTARA) - Co-Inisiator Lapor COVID-19 Ahmad Arif menyatakan kepercayaan publik yang menurun terhadap COVID-19 merupakan dampak dari penanganan pemerintah yang dinilai buruk menangani pandemi.

“Satu hal yang menurut saya sangat penting adalah pengabaian risiko di awal,” kata Ahmad dalam webinar Lokapala 3.0 bertajuk “Habis Gelap Terbitkah Terang?” yang diikuti di Jakarta, Kamis.

Ahmad menuturkan adanya pengabaian risiko yang dilakukan oleh pemerintah di awal pandemi COVID-19 membuat beberapa hal terlambat mendapatkan penanganan.

Seperti pada bagaimana pemerintah terlambat memberikan respon dalam menggencarkan tes dan melacak orang-orang yang diduga positif COVID-19. Hal tersebut kemudian menyebabkan kasus menjadi naik diikuti dengan tren keterisian tempat tidur di rumah sakit (BOR) yang meningkat.

Baca juga: Pasien rawat inap Wisma Atlet per hari ini tambah 490 orang

Baca juga: 1,7 juta warga Kalteng sudah divaksinasi COVID-19


Akibatnya, pada saat tes berlangsung, banyak masyarakat yang tidak percaya bahwa dirinya terpapar bahkan merasa dicovidkan oleh tenaga kesehatan yang memeriksa di rumah sakit.

Kemudian pada pemerataan vaksinasi di berbagai daerah, Ahmad menilai bahwa saat wabah COVID-19 meluas, banyak daerah yang memiliki cakupan vaksinasi dan fasilitas kesehatan yang rendah di luar DKI Jakarta.

Hal tersebut membuat terjadinya ketimpangan vaksinasi terutama pada penduduk lanjut usia (lansia) yang jumlahnya masih lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya, serta kemampuan suatu daerah bertahan dari gelombang COVID-19, terlebih dengan munculnya Omicron.

Pihaknya juga menemukan bahwa vaksin penguat (booster) yang semula ditekankan oleh pemerintah hanya diberikan pada tenaga kesehatan, ternyata mengalami penyimpangan dimana vaksin juga diberikan pada aparat atau pejabat beserta keluarganya di suatu daerah.

Bahkan pada bulan November 2021 lalu, terdapat sejumlah oknum yang menjual vaksin penguat itu kepada masyarakat seharga Rp300 ribu di wilayah Surabaya.

“Menurut saya, ini menjadi implikasi yang sangat serius karena memicu. Konsekuensinya adalah ketimpangan dalam konteks risiko yang harus ditanggung oleh publik,” ucap Ahmad.

Terlebih bila berbicara mengenai data jumlah kematian yang dilaporkan sudah melebihi 140 ribu orang. Sedangkan menurutnya, jumlah tersebut sebenarnya dapat jauh lebih tinggi.

Ia mengatakan pada saat melakukan penelusuran ke beberapa desa di daerah Jawa, kematian selama puncak delta pada bulan Juli 2021, bisa 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan yang terlaporkan karena penanganan yang kurang baik.

Sayangnya, kondisi tersebut diperparah dengan narasi yang dibuat oleh pemerintah pada saat mengedukasi perbedaan varian Delta dan Omicron yang saat ini sedang merebak dalam masyarakat.

Adanya narasi yang ditekankan bahwa gelombang Omicron tidak separah Delta karena memiliki gejala yang cenderung lebih ringan dan seolah tidak membahayakan, membuat masyarakat menjadi abai terhadap protokol kesehatan. Apalagi pada masyarakat yang sudah mendapatkan suntik vaksin COVID-19.

“Itu yang membuat masyarakat gagal memahami risiko COVID-19 dan hancurnya kepercayaan publik terhadap penanganan pandemi,” kata dia.*

Baca juga: Warga penerima dua dosis vaksin COVID-19 capai 126,4 juta orang

Baca juga: Satgas: Omicron BA.2 jadi perhatian sebab beda hasil PCR


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022