Jakarta (ANTARA) - Agama yang kerap dikambinghitamkan sebagai celah masuknya radikalisme dan terorisme di Tanah Air bukanlah barang baru.

Bahkan dalam beberapa waktu terakhir, penangkapan para terduga teroris yang mengatasnamakan agama semakin membuat sebagian masyarakat cenderung berpikiran pendek.

Ada yang menyudutkan bahwa agama berkaitan dengan radikalisme ataupun terorisme. Ada pula yang menyudutkan penganut agama yang mendominasi Indonesia paling berpotensi menjadi sosok teroris.

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R Ahmad Nurwakhid menegaskan bahwa agama, khususnya yang para penganutnya mendominasi suatu negara, tidak berkaitan dengan radikalisme ataupun terorisme.

Menurutnya, oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan agama tersebut sesungguhnya memiliki pemahaman keagamaan dan cara beragama yang keliru atau menyimpang.

Sebagaimana salah satu akar utama masalah radikalisme dan terorisme itu berkenaan dengan ideologi, tambah Nurwakhid, mereka yang mengatasnamakan agama untuk melakukan teror berarti telah terpapar ideologi yang mengalami distorsi atau penyimpangan.

Dengan demikian, seluruh masyarakat Indonesia sepatutnya memahami bahwa tidak ada kaitan di antara seluruh aksi terorisme dan agama apa pun. Karena pada dasarnya, tidak ada satu pun agama yang membenarkan tindakan radikal dan terorisme.

Baca juga: Ideologi "Takfiri/Jihadi" dan terorisme di Indonesia

Ideologi Takfiri
Nurwakhid pun menilai mencuatnya peningkatan kasus radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama tidak dapat dilepaskan dari upaya pemerintah yang belum menjurus pada pembasmian ideologi Takfiri.

Ia menjelaskan ideologi Takfiri merupakan paham yang dianut sekelompok orang untuk mengafirkan mereka yang dianggap berbeda. Bahkan, sesama muslim pun dapat dianggap oleh para penganut Takfiri sebagai orang kafir.

Kemudian, paham tersebut memunculkan sifat eksklusif, intoleran terhadap keberagaman dan perbedaan, serta sikap antipemerintahan yang sah. Lebih lanjut, Nurwakhid menekankan para penganut ideologi Takfiri juga menganggap pemerintah seharusnya menganut ideologi agama versi mereka.

Hal senada juga diungkapkan oleh Cendekiawan Yahya Nuryadi. Ia menilai ideologi Takfiri berpotensi memunculkan dampak-dampak destruktif dalam berbagai bidang, mulai dari kehidupan sosial, politik, bahkan akhlak dari masing-masing masyarakat yang terpapar.

Di sisi lain, Ulama KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha menegaskan ideologi Takfiri yang mengafirkan orang lain tidak memiliki dasar bersifat ilmiah. Menurutnya, ideologi Takfiri yang mudah mengafirkan seseorang itu jelas tidak memiliki satu pun rujukan.

Gus Baha mengambil contoh, ketika seorang kafir melafalkan kalimat syahadat, ia mampu menghilangkan kekafirannya. Dengan demikian, tidak masuk akal jika sesama muslim mengatakan muslim tertentu sebagai bagian dari kaum kafir.

Akan tetapi dalam praktiknya, keberadaan ideologi Takfiri memang belum dilarang dan ditegaskan pelarangannya ke dalam regulasi yang ada di Indonesia.

Hingga saat ini, pemerintah cenderung berfokus membasmi organisasi-organisasi penganut ideologi Takfiri dengan membubarkan mereka menggunakan Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Organisasi kemasyarakatan (Ormas) seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) telah dibubarkan, namun ideologi Takfiri yang mereka anut belum dilarang.

Baca juga: BNPT ajak masyarakat samakan persepsi agama tak terkait terorisme

Regulasi tegas larang ideologi Takfiri
R Ahmad Nurwakhid selanjutnya mengambil contoh pelarangan terhadap ideologi Marxisme, Komunisme, dan Leninisme yang dilakukan pemerintah dan diatur secara tegas dalam regulasi berupa TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme dan aturan turunannya dalam UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. .

Sepatutnya, saran dia, pemerintah juga melakukan hal serupa terhadap ideologi Takfiri, seperti khilafahisme atau daulahisme yang bertentangan dengan ideologi negara Indonesia, yakni Pancasila.

Nurwakhid juga bercermin pada keputusan pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pascaperistiwa Bom Bali 12 Oktober 2002. Pada saat itu, diberlakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan BOM di Bali Tanggal 12 Oktober 2002.

Kemudian, jelas Nurwakhid, perppu tersebut dibentuk ke dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

Semenjak regulasi itu ditetapkan, seluruh elemen bangsa Indonesia dapat merasa lebih aman karena pemerintah telah secara tegas memberantas tindak pidana terorisme. Oleh karena itu, hal yang sama juga diharapkan dapat diberlakukan untuk pemberantasan ideologi Takfiri.

Pemerintah disarankan segera mengeluarkan perppu yang melarang ideologi Takfiri atau ideologi lainnya yang bertentangan dengan Pancasila.

Dengan demikian, tidak ada lagi masyarakat yang beranggapan bahwa agama menjadi pendorong berbagai tindakan radikalisme dan terorisme. Seluruh elemen bangsa pun dapat menjadi tenang dan aman, kemudian dapat berfokus membangun bangsa dan negara.

Di samping itu, sudah sepatutnya pula masyarakat ikut memahami bahaya ideologi Takfiri ataupun ideologi selain Pancasila dalam mengundang kemunculan benih-benih radikalisme dan terorisme, bahkan merusak kesatuan dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ini juga menjadi momentum bagi seluruh elemen bangsa Indonesia untuk semakin menguatkan moderasi beragama, yaitu menyinergikan keadilan dan kebaikan dengan memahami serta mengamalkan ajaran agama dengan tidak bersikap ataupun bertindak secara ekstrem.

Sudah sepatutnya, kebinekaan yang merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia terus dirawat dalam moderasi beragama ataupun penguatan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, imunitas negeri ini terhadap papaparan radikalisme dan terorisme pun dapat ditingkatkan dan dimaksimalkan.

Baca juga: BNPT sebut tokoh agama jadi pintu masuk dan keluar radikalisme

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021