di masa-masa tertentu, balita tidak mau makan sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya.
Jakarta (ANTARA) - Pelaksana Tugas Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kartini Rustandi meminta para ibu untuk memperhatikan penambahan berat badan dan tinggi pada bayinya untuk mendeteksi risiko stunting.

"Kita harus melihat berat badan per umur, karena kadang-kadang berat badan per umur yang menyebabkan anak-anak itu menjadi kurang berat badannya. Ini juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya risiko stunting," kata Kartini Rustandi dalam acara Dialog Produktif Semangat Selasa bertajuk "Bebas Stunting di Masa Pandemi" yang diikuti di Jakarta, Selasa.

Dikatakannya, di masa-masa tertentu, balita tidak mau makan sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya.

"Biasanya pada kondisi-kondisi tertentu ya, memang akan terjadi, misalnya anaknya kurang makan karena tidak mau makan, apalagi bosan. Dan yang pasti di data ePPGBM ini merupakan data yang harus kita perhatikan untuk melihat, mendeteksi dini (kemungkinan stunting)," katanya.

Selain itu, pada ibu hamil juga harus memperhatikan kenaikan berat badan selama kehamilan untuk memastikan kecukupan nutrisi bagi ibu dan bayi.
Baca juga: Kemenkes sebut anak wasting punya risiko tiga kali lipat stunting
Baca juga: Kemenkes: Pandemi COVID-19 jadi tantangan penanggulangan "wasting"


"Ibu hamil harus rajin ukur berat badan dan lingkar lengan," kata Kartini.

Dengan memastikan kecukupan nutrisi selama masa kehamilan, ibu hamil bisa menekan seminimal mungkin potensi lahirnya bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).

BBLR merupakan salah satu faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stunting.

Sementara Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Agus Suprapto mengatakan bahwa laki-laki turut berperan serta dalam mencegah stunting.

"Tanggung jawab stunting bukan pada ibu-ibu saja tapi para lelaki yang mau nikah atau yang sudah menikah mau punya anak, karena kualitas sperma sangat terpengaruh," kata Agus Suprapto.

Jika kualitas sperma untuk pembuahan, bagus, maka akan mempengaruhi kualitas embrio yang akan dihasilkan.

"Jadi kualitas sperma itu kalau gizinya bagus, seleniumnya bagus, vitamin E-nya bagus," tuturnya.
Baca juga: Wapres: Investasi di bidang gizi adalah "smart investment"
Baca juga: Bappenas: Pemerintah terus berkomitmen atasi wasting dan stunting

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2021