Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami dugaan adanya penerimaan uang dari para aparatur sipil negara (ASN) terkait dengan kasus dugaan suap yang menjerat Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid (AW).

KPK memeriksa 14 saksi untuk tersangka Abdul Wahid di Gedung Polres Hulu Sungai Utara, Selasa (23/11), dalam penyidikan kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, pada tahun 2021—2022.

"Seluruh saksi hadir dan menerangkan antara lain terkait dengan dugaan penerimaan fee proyek oleh tersangka AW dan juga adanya penerimaan lain berupa uang dari para ASN yang akan menduduki jabatan struktural di Pemkab Hulu Sungai Utara," kata Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Ia menyebutkan 14 saksi tersebut, yaitu Syamsul Hamidan selaku pemilik CV Agung Perkasa/kontraktor yang biasa mengerjakan pekerjaan di Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara pada tahun 2021, Barkati selaku kontraktor/Direktur PT Prima Mitralindo Utama, Marhaidi selaku kontraktor/Wakil Direktur CV Hanamas, Sapuani selaku pemilik CV Lovita, dan Abdul Hadi selaku kontraktor.

Selanjutnya, PNS/Kasi Pembangunan dan Peningkatan Pengairan pada Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara Hairiyah, Muhammad Sam'ani selaku wiraswasta/Direktur PT Sapta Surya Tosan Talina, Muhammad Muzakkir selaku Direktur Cahaya Sambang Sejahtera, Rusdi selaku kontraktor, Rakhmadi Effendie selaku Direktur PT Seroja Indah Persada, Abdi Rahman dari pihak swasta, Yandra selaku staf SMP Negeri 8 Amuntai, Ina Wahyudiaty dari Bapelitbang, dan Thamrin dari BPKAD.

KPK telah menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.

Penetapan Abdul Wahid sebagai tersangka merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat Maliki (MK) selaku Plt. Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara, Marhaini (MRH) dari pihak swasta/Direktur CV Hanamas, dan Fachriadi (FH) dari pihak swasta/Direktur CV Kalpataru.

KPK menduga pemberian komitmen bagian yang diduga diterima Abdul Wahid melalui Maliki, yaitu dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp500 juta.

Selain melalui perantaraan Maliki, Abdul Wahid juga diduga menerima komitmen bagian dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara, yaitu pada tahun 2019 sekitar Rp4,6 miliar, pada tahun 2020 sekitar Rp12 miliar, dan pada tahun 2021 sekitar Rp1,8 miliar.

Selain itu, selama penyidikan berlangsung, tim penyidik telah mengamankan sejumlah uang dalam bentuk tunai dengan pecahan mata uang rupiah dan juga mata uang asing yang hingga saat ini masih terus dilakukan penghitungan jumlahnya.

Atas perbuatannya, Abdul Wahid disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 KUHP jo. Pasal 65 KUHP.

Baca juga: KPK panggil 12 saksi kasus Bupati Hulu Sungai Utara

Baca juga: KPK konfirmasi 16 saksi aliran dana kasus Bupati Hulu Sungai Utara

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021