Jakarta (ANTARA) - Dalam hampir setiap ajang olah raga yang membawa nama negara atau daerah, selalu ada kasus atlet berganti negara atau daerah yang dibelanya dalam ajang olah raga itu.

Contohnya gelandang West Ham United Declan Rice yang pernah diperebutkan Inggris dan Republik Irlandia atau pemain Barcelona Ansu Fati yang melibatkan Guinea-Bissau dan Spanyol, atau pelari jarak jauh Sifan Hassan yang pindah membela Belanda dari Ethiopia, dan banyak lagi.

Di dalam negeri pun begitu, terutama dalam kaitannya dengan Pekan Olahraga Nasional (PON), Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas), dan bahkan tingkat provinsi.

Di dalam negeri, kasus ini memang membuka pandangan-pandangan tidak sedap, mulai dari tudingan adanya pihak-pihak yang sengaja mengail untung dari berpindahnya domisili atlet, sampai pertanyaan terhadap loyalitas atlet dan terganggu atau rusaknya pembinaan olahraga di daerah karena fenomena seperti ini menghilangkan motivasi daerah dalam membina atlet atau mencari bibit-bibit unggul olahraga nasional.

Baca juga: Mahfud MD: Sukses PON dan Peparnas bukti nyata Papua aman dan damai
Baca juga: PON dan Peparnas Papua pecahkan 90 rekornas


Sudah terlalu sering orang mendengar kabar hijrahnya atlet satu daerah atau provinsi ke daerah atau provinsi lain, padahal atlet-atlet itu sudah menciptakan prestasi besar untuk daerah atau provinsi yang sebelumnya mereka bela, baik dalam kejuaraan daerah, PON maupun Peparnas.

Ada juga ketentuan mengenai kepastian meningkatnya prestasi yang membolehkan seorang atlet dari provinsi ke provinsi lainnya yang dia anggap bisa meningkatkan prestasi. Dan ini umumnya berkaitan dengan perhatian daerah kepada si atlet, entah dalam soal pembinaan maupun kesempatan berkompetisi serta tentu saja kesejahteraan atlet.

Untuk PON dan Peparnas sendiri ada ketentuan bahwa kepindahan atlet harus dilakukan minimal dua tahun sebelum PON atau Peparnas yang baru digelar.

Namun di luar itu semua, ada aspek positif dari kecenderungan ini, tanpa menganggap sepi keluhan banyak daerah yang memang sudah berusaha keras mempertahankan atlet mereka tapi kalah karena janji kesejahteraan yang lebih besar dari daerah atau provinsi lain.

Baca juga: Gubernur Enembe bangga Papua juara umum Peparnas XVI 2021
Baca juga: Nina Gusmita, pencetak "hattrick" emas dan rekornas Peparnas


Aspek positif itu adalah ternyata dalam olahraga, aturan mengenai siapa harus membela siapa begitu cair, yang mengesampingkan sama sekali asal suku, agama, atau latar belakang sosial lainnya.

Sepanjang Anda berprestasi dan telah memenuhi syarat untuk bisa sah memperkuat satu daerah, maka tak ada alasan bagi Anda untuk tetap memperkuat daerah asal Anda.

Kondisi ini bisa positif bisa negatif, tergantung bagaimana Anda melihat dan menyikapi hal itu. Namun bagi atlet sendiri, kesempatan mencetak prestasi lebih tinggi lagi yang acap berkaitan dengan cara daerah memperhatikan mereka termasuk dalam pembinaan dan dalam soal kesejahteraannya, adalah dambaan tertinggi mereka.

Justru ada nilai besar di balik fenomena yang oleh sebagian besar orang dicibir karena dianggap berkaitan dengan loyalitas dan sikap materialistis atlet. Nilai besar itu adalah atlet tidak pernah melihat apa suku Anda, apa bahasa Anda, apa tradisi Anda, dan bahkan apa agama Anda.

Yang mereka lihat bagaimana potensi yang mereka miliki berkembang untuk mencapai hasil tertinggi yang membuat masyarakat, daerah dan bangsanya turut berbangga, walaupun selalu ada embel-embel materi termasuk bonus di balik itu.

Baca juga: Atlet Peparnas puji keindahan alam Papua
Baca juga: Bank Papua-Bank Indonesia berkolaborasi dukung UMKM dalam Peparnas XVI



Demi Indonesia satu

Sebagaimana olah raga yang tak pernah memilah masyarakat karena pilihan politik, agama dan latar belakang sosial lainnya, atlet juga begitu.

Dalam satu sisi, dalam kerangka PON dan Peparnas, sikap itu bahkan menguatkan keindonesiaan kita, bahwa kita satu, sekalipun corak kulit dan rambut kita berbeda, bahasa kita lain satu sama lain, keyakinan dan pilihan politik berbeda satu sama lain.

Daerah yang menarik atlet daerah lain juga tidak melihat apa agama si atlet atau dari suku mana mereka berasal. Sebaliknya atlet sendiri tidak melihat apa suku atau agama yang menjadi mayoritas di daerah baru yang hendak dia bela.

Ini hubungan unik yang meniadakan sekat-sekat sosial yang malah diperlukan bagi bangsa majemuk seperti Indonesia. Tentu saja ini tak boleh membuat bangsa ini alergi dengan perbedaan atau meniadakan fakta bahwa perbedaan itu ada. Justru perbedaan bisa merupakan anugerah yang makin merekatkan keindonesiaan kita.

Oleh karena itu, di luar kekurangan-kekurangannya, atlet PON dan Peparnas mengajarkan bahwa kita semua satu. Orang Papua bebas hidup dan tinggal di mana saja dari Aceh sampai Jawa Barat sampai mana saja, pun berlaku sebaliknya untuk orang Aceh, Jawa Barat, atau mana saja.

Dalam konteks keolahragaan nasional, selagi kita semua satu sebagai keluarga besar Indonesia dan selama masih dalam koridor aturan yang disepakati daerah-daerah, maka siapa pun boleh membawa nama daerah mana pun.

Baca juga: Atlet renang puji fasilitas Arena Akuatik yang ramah disabilitas
Baca juga: Wajah baru hiasi daftar peraih emas bulu tangkis Peparnas Papua


Atlet-atlet ini pada dasarnya tidak hanya mencetak rekor, meraih medali, untuk kemudian mengharumkan nama daerah mereka, namun juga diam-diam mengajari bangsa ini mengenai upaya meniadakan sekat sosial.

Mereka seolah mengajari bahwa kita bisa pergi ke daerah Indonesia mana saja, bahkan kita boleh tinggal dan beranak pinak di sana, jauh dari daerah asal kita, untuk bersama-sama membangun daerah itu yang kemudian dengan cara begitu turut memajukan bangsa ini, negara ini, Indonesia.

Keolahragaan dan sportivitas pun tidak lagi mengenai apa yang terjadi di dalam arena, namun juga tumpah ke dalam cara kita bertetangga, cara kita bermasyarakat, dan cara kita bernegara atau menjadi Indonesia.

Oleh karena itu, selama PON Papua bulan lalu dan selama satu pekan berlangsungnya Peparnas Papua, ada banyak pelajaran yang justru tidak hanya melulu soal rekor dan medali.

Karena ada juga pelajaran mengenai bahwa semua perbedaan yang justru menguatkan betapa manusiawinya dan tidak sempurnanya kita, malah membuat kita menyadari bahwa kita membutuhkan orang lain untuk menyempurnakan diri kita. Dan ini adalah inti dari adanya perasaan menjadi satu.

Tanpa mengesampingkan keprihatinan daerah oleh migrasi atlet-atlet berkualitasnya ke daerah lain yang mutlak dijawab oleh siapa pun dan menjadi pekerjaan rumah bersama komunitas olahraga nasional, tak berlebihan jika dalam PON dan Peparnas ada semangat besar yang lestari dibutuhkan Indonesia, yakni semangat merasa satu, bahwa kita semua Indonesia.

Peparnas Papua bakal segera ditutup Sabtu malam ini, tetapi apa yang telah terjadi di arena-arena Peparnas, dan juga PON bulan lalu, mengenai betapa satunya kita sebagai Indonesia yang satu, niscaya tak bisa pupus oleh ruang dan waktu.

Sebaliknya yang dikuatkan Papua hari ini bakal kian dikuatkan lagi tiga tahun mendatang di Aceh dan Sumatera Utara. Semoga.

Baca juga: David Jacobs: Olahraga disabilitas makin populer
Baca juga: Indonesia siap gantikan Vietnam sebagai tuan rumah ASEAN Para Games X
Baca juga: Menko PMK: Pendidikan atlet difabel jangan sampai terhambat

Copyright © ANTARA 2021